RUU Pertembakauan Condong Lindungi Industri Kretek Nasional
Prolegnas 2015-2019

RUU Pertembakauan Condong Lindungi Industri Kretek Nasional

Meski mengejar pendapatan negara dari aspek cukai puluhan triliunan rupiah, RUU Pertembakauan semestinya memberikan porsi seimbang terhadap aspek kesehatan dalam materi muatan RUU.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)
Setelah menjadi polemik di internal parlemen pada periode 2019-2014, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional prioritas 2015-2019 dengan nomor urut 22. RUU ini diharapkan mampu melindungi industri pertembakauan.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg), Firman Subagyo, mengatakan data kementerian perindustrian menujukan hasil tembakau memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian nasional. Menurutnya, hasil pertembakauan memiliki multiplier effect yang amat luas. Misalnya, mampu menumbuhkan industri jasa terkait penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja mencapai 30,5 juta orang.

Puluhan juta orang itu terdiri dari petani tembakau, cengkeh, buruh pabrik, pedagang kecil, dan produksi rokok. “Serta meningkatkan kesejahteraan petani tembakau yang selama ini tidak bergantung pada pemerintah,” ujarnya di Gedung DPR, Kamis (26/2).

Terlebih, negara masih bergantung dengan cukai rokok sebagai sumber penerimaan negara. Bukan menjadi rahasia umum, pendapatan negara dari industri rokok terbilang cukup besar. Makanya, kata Firman, industri rokok nasional memiliki peran dan kontribusi yang besar terhadap anggaran pendapatan belanja negara. Menurutnya, pendapatan negara dari industri rokok mencapai Rp150 triliun pertahun.

“Dan terus digenjot naik setiap tahun,” katanya.

Politisi partai Golkar itu mengatakan, parlemen bakal memperhatikan kepentingan keekonomian tembakau. Selain itu, DPR akan memberikan perhatian terhadap perkembangan industri hasil tembakau. Meski begitu, aspek kesehatan tetap menjadi perhatian dan tak akan dikesampingkan dalam perumusan RUU Pertembakauan antara DPR dengan pemerintah.

Dalam pembahasan nantinya, DPR akan meminta pandangan dan masukan dari pemerhati dan pegiat kesehatan. Berdasarkan draf RUU Pertembakauan versi DPR periode lalu, aspek kesehatan memang masuk dalam RUU tersebut, yakni dalam Bab VIII terkait dengan pengendalian konsumsi produk tembakau. Pengendalian konsumsi tembakau dilakukan untuk melindungi dan menjamin kesehatan setiap warga negara.

Pasalnya, mengkonsumsi tembakau berdampak bagi kesehatan secara individu, masyarakat dan lingkungan. Dalam Bab VIII mengatur ketat penjualan rokok, pembatasan iklan rokok, promosi dan sponsor. Selain itu mengatur kawasan tanpa asap rokok, sosialisasi dan rehabilitasi,  serta pembinaan pengawasan.

“Jadi RUU ini tidak mengesampingkan aspek kesehatan,” ujarnya.

Golkar merupakan satu dari sekian fraksi partai yang mengusulkan RUU Pertembakauan masuk dalam Prolegnas lima tahunan DPR periode 2014-2019. Menurutnya, pengaturan terhadap rokok akan menolak upaya standarisasi produk dengan tidak masuk ke domain kandungan, baik tar maupun nikotin. Sebab, jika tidak dibatasi akan mengikis kretek dan pertanian tembakau lokal. Selain itu, kelangsungan suplai bahan baku tembakau lokal dan cengkeh nasional akan diakomodasi dalam RUU Pertembakauan.

“RUU Pertembakauan diharapkan melindungi industri kretek nasional, terutama perusahaan menengah dan UMKM untuk menyelamatkan tradisi kretek di kalangan  masyarakat dengan memperbesar kapasitas produksi dan pelonggaran tarif,” ujar Firman yang juga duduk sebagai anggota Komisi IV itu.

Anggota Komisi XI Muhammad Misbakhun menambahkan, cukai rokok berkontribusi dalam pendapatan APBN. Menurutnya, jika produk tembakau nasional mati, hal itu akan berdampak pada persoalan devisitnya pendapatan negara.

“Masalah lain, akan menambah penggangguran nasional dan membuat pendapat defisit pendapatan APBN,” ujarnya.

Sebelumnya,Ketua Bidang Pengembangan Dukungan Medik Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hakim Sorimuda mengatakan, Indonesia saat lebih membutuhkan UU yang melindungi kepentingan masyarakat. Menurutnya, data tentang perokok di Indonesia menunjukkan bahwa usia perokok pemula 10-14 tahun yaitu 16.0% pada 2007. Sedangkan pada 2010 mengalami peningkatan menjadi 17.5%.

Hal itu menunjukkan konsumen penghisap rokok pemula adalah kalangan muda. Ia berpandangan hal ini disebabkan belum adanya regulasi yang komperehensif mengendalikan peredaran tembakau. “Peraturan Pengendalian tembakau yang sudah ada saat ini pun terancam dengan adanya RUU Pertembakauan dan membuat masa depan anak kita dibenturkan dengan kapitalisme industri nikotin,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait