MK: Sistem Noken Tak Perlu Dinormakan dalam UU
Berita

MK: Sistem Noken Tak Perlu Dinormakan dalam UU

Metode pemberian suara dalam Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Majelis MK. Foto: RES
Majelis MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Pasal 154 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) terkait sistem coblos dalam Pemilu yang diajukan Isman Ismail Asso. Mahkamah berpendapat metode pemberian suara dengan cara “mencoblos” dalam pasal itu tidak mengandung permasalahan konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan UUD 1945.  

Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 31/PUU-XII/2014 di Gedung MK, Rabu (11/3).  

Sebelumnya, warga Papua Isman Ismail Asso mempersoalkan sistem coblos dalam Pemilu melalui uji materi Pasal 154 UU Pemilu Legislatif. Pemohon meminta agar sistem noken atau ikat suara dapat diterapkan dalam Pemilu 2014. Sebab, beberapa wilayah di Pegunungan Tengah Papua pemberian suara dengan sistem coblos dalam Pemilukada tidak bisa dilakukan, tetapi justru dengan sistem noken.
 
Namun, hingga kini masyarakat Papua masih beda pendapat mengenai penggunaan sistem noken dalam Pemilu 2014 lantaran terbentur dengan adanya Pasal 154 UU Pemilu Legislatif dan Peraturan KPU.


Terlebih, dalam putusannya, MK telah mengakui pemberian suara dengan sistem noken dalam sejumlah pilkada sebagai praktik yang didasarkan adat istiadat setempat yang dijamin UUD 1945. Karenanya, pemohon meminta MK menyatakan frasa mencoblos satu kali dalam Pasal 154 UU Pemilu Legislatif dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sistem noken hanya berlaku di Papua.

Mahkamah menegaskan pemungutan suara dengan sistem noken (ikat) masih dapat dibenarkan, tetapi sistem ini hanya berlaku di tempat dan waktu tertentu selama ini belum dilakukan sistem pencoblosan langsung oleh pemilih. Dengan demikian, penggunaan sistem noken dalam Pemilu hanya bersifat kasuistis ketika masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat di Papua.

“Karena itu, Mahkamah berpendapat sistem noken tidak perlu dinormakan secara khusus dalam UU Pemilu,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukum putusan.  

Terkait petitum pemohon, menurut Mahkamah pemohon tidak menjelaskan secara detail daerah mana saja yang dapat diberlakukan sistem “noken”. Lagipula, Mahkamah tidak memiliki kewenangan menentukan daerah mana saja yang dapat menggunakan sistem “noken” dalam Pemilu.  

“Untuk menjamin kepastian hukum, tempat tertentu yang dalam Pemilu telah menggunakan sistem pencoblosan langsung oleh pemilih tidak dapat lagi menggunakan sistem noken, ikat, atau sejenisnya,” tuturnya.  

Mahkamah berharap tempat tertentu yang masih menggunakan sistem noken, ikat, atau sejenisnya dapat beralih menggunakan metode coblos atau metode lain yang ditentukan dalam UU Pemilu Legislatif. Karena itu, perlu dilakukan sosialisasi oleh penyelenggara pemilihan umum secara intensif dan berkelanjutan (oleh penyelenggara pemilu).  

“Karena itu, metode pemberian suara dengan cara “mencoblos” dalam Pasal 154 UU Pemilu Legislatif tidak mengandung permasalahan konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Metode pemberian suara dalam Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy),” tegasnya. 
Tags:

Berita Terkait