LPSK dan KPAI Apresiasi Putusan Kasus JIS
Berita

LPSK dan KPAI Apresiasi Putusan Kasus JIS

Putusan PN Jaksel diharapkan menjadi peringatan bagi pelaku lainnya.

YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Kantor LPSK. Foto: Sgp
Kantor LPSK. Foto: Sgp
Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK) menyatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis dua guru Jakarta International School (JIS) dapat menjadi peringatan pelaku lainnya. PN Jakarta Selatan pada Kamis (2/4) telah memvonis Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, mengatakan putusan ini hendaknya menjadi peringatan bagi para pelaku lainnya untuk tidak berani-berani memikirkan, apalagi sampai melakukan kekerasan seksual terhadap anak.

Menurut dia, peristiwa itu akan sangat berdampak bagi masa depan sang anak, apalagi, dalam kasus JIS, kedua pelaku merupakan tenaga pendidik sehingga perbuatan keduanya dianggap telah mencoreng dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.

Semendawai mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Nur Aslam Bustaman.

Menurut dia, jatuhnya putusan 10 tahun penjara itu tentu melalui pertimbangan- pertimbangan hukum, meski pada pembacaan vonis terungkap terjadi dissenting opinion (pendapat berbeda), di mana hakim ketua menginginkan keduanya dijatuhi pidana penjara 15 tahun denda Rp300 juta.

Pengungkapkan kasus hingga pembacaan vonis terhadap kedua terdakwa yang merupakan guru JIS ini, kata Semendawai, tidak lepas dari kerja keras sejumlah pihak, mulai polisi, jaksa, majelis hakim dan pihak-pihak lain yang terlibat, sehingga kerja mereka patut diapresiasi meski di tengah banyaknya tekanan.

"Majelis hakim mampu menjalankan perannya dan tidak mudah diintervensi kekuatan mana pun dalam menyidangkan kasus ini," tukasnya.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi juga menyampaikan apresiasinya kepada majelis hakim yang menggunakan model teleconference dalam mendengarkan kesaksian saksi korban anak.

Dengan demikian, saksi korban anak bisa memberikan keterangan tanpa harus takut bertemu muka dengan para terdakwa.

"Model 'telecoference' menjadi sumbangan alat bukti untuk memperkuat keyakinan majelis hakim dalam memutuskan kasus," tutur Edwin.

Ke depan, kata Edwin, hendaknya pemberian kesaksian model "teleconference" bisa diterima oleh majelis hakim pada persidangan lain di seluruh Indonesia, di mana dalam kondisi tertentu, baik saksi, korban maupun saksi korban, bisa merasa aman memberikan keterangan di pengadilan.

Dalam putusan kasus JIS, hakim menyebutkan penggunaan model "teleconference" mengacu pada UU No.13 Tahun 2006 jo UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu, yang paling terpenting, menurut Edwin, putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus dengan terdakwa dua guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong, diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku lainnya.

"Ini jadi peringatan bagi pelaku lain untuk tidak melakukan kekerasan seksual pada anak karena peristiwa itu sangat berdampak bagi masa depan korban," ujar dia.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mengapresiasi putusan ini. Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh, menilai hakim telah menunjukkan independensinya dalam proses hukum tersebut. “Vonis ini menunjukkan secara hukum, benar ada terjadi tindak kejahatan seksual di JIS dan melibatkan pendidik di lingkungan sekolah internasional tersebut,” katanya.

Vonis tersebut, kata Asrorun, harus menjadi pemicu untuk seluruh pihak untuk meningkatkan pengawasan. Tidak ada pihak yang kebal hukum dan tidak ada yang luput dari proses hukum.

Atas putusan kasus tersebut, Asrorun meminta pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar melakukan audit total keberadaan sekolah-sekolah internasional. “Kemenaker juga perlu melakukan pengetatan izin terhadap guru asing terkait kompetensi prosfesional dan moral,” kata dia.
Tags:

Berita Terkait