Aturan Khusus Pajak E-Commerce Dinilai Penting
Utama

Aturan Khusus Pajak E-Commerce Dinilai Penting

Jika tidak ada aturan, potensi pendapatan di sektor pajak bisa hilang.

FAT
Bacaan 2 Menit
Wamenkeu, Mardiasmo. Foto: RES
Wamenkeu, Mardiasmo. Foto: RES
Pemerintah menilai aturan khusus mengenai pajak untuk bisnis e-commerce  sangat penting. E-commerce sendiri merupakan transaksi perdagangan barang atau jasa lain yang dilakukan melalui layanan internet. Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, mengatakan saat ini Indonesia hanya menerapkan aturan umum seperti Pajak Penghasilan (PPh) untuk bisnis e-commerce.

Jika aturan khusus untuk bisnis ini tidak ada, maka, kata Mardiasmo, berpotensi pada hilangnya pendapatan perpajakan, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak lain. Atas dasar itu, keberadaan aturan khusus bisnis e-commerce dipercaya dapat mengantisipasi terjadinya kerugian negara tersebut.

“Selain untuk mengantisipasi kerugian negara dari sektor perpajakan, aturan tersebut juga berfungsi melindungi pelaku usaha dalam negeri dalam menghadapi era perdagangan bebas,” kata Mardiasmo yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), di Jakarta, Selasa (14/4).

Meski begitu, Mardiasmo tak menampik terdapat sejumlah tantangan dalam mengefektifkan pengenaan pajak terhadap bisnis e-commerce ini. Misalnya, transaksi yang unik membuat pengenaan pajak dapat luput. Padahal, potensi pajaknya sangat besar.

“Apindo pernah menyebutkan jika transaksi rata-rata e-commerce di Indonesia setiap tahun mencapai Rp100 triliun. Dari angka-angka ini bisa kita prediksi berapa sebenarnya potensi pendapatan negara dari sektor ini,” tuturnya.

Menurutnya, peningkatan pertumbuhan transaksi e-commerce di dalam negeri telah menjadi perhatian pemerintah untuk mengatur aspek perpajakan. Atas dasar itu, rencana penerapan aturan perpajakan tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun mengatakan, bisnis e-commerce ini merupakan model bisnis baru di Indonesia. Meski begitu, layanan internet yang menyediakan bisnis ini tak selalu mengenai penjualan semata, sehingga wajib menjadi perhatian khusus pemerintah jika ingin menyusun aturan perpajakan bisnis e-commerce ini.

“Ada yang untuk dagang dan ada yang untuk developing. Model bisnis yang berbeda tipe jenisnya. Pengambil kebijakan di e-commerce ini harus perhatikan strukturnya,” kata Misbakhun.

Ia menuturkan, penerimaan perpajakan di tahun 2015 hanya akan mengalami pertumbuhan sebesar 15 persen atau setara dengan Rp1.100 triliun. Angka ini lebih rendah dari target yang dipatok dalam APBN-P 2015 yang sebesar Rp1.484,6 triliun. Menurutnya, target penerimaan perpajakan tersebut bisa tercapai jika pemerintah memiliki keputusan untuk menerapkan tax amnesty.

“Bukan hanya terbatas pada pemberlakuan sunset policy,” kata politisi dari Partai Golkar ini.

Anggota Kebijakan Publik Asosiasi E-Commerce Indonesia, Bima Laga, sepakat bahwa bisnis e-commerce tak hanya menerapkan transaksi jual beli. Ia mencontohkan, situs website yang dimilikinya memang menampilkan barang yang dapat dijual. Namun, untuk transaksi jual beli barang tersebut dilakukan di website lain, seperti Lazada.

“Tapi jika ada pengunjung ingin beli barang, misal Samsung S5, perusahaan saya kerjasama dengan Lazada,” katanya.

Sedangkan untuk pendapatan, perusahaannya memperolehnya dari iklan. Bima Laga menilai, jika pemerintah ingin mengatur khusus perpajakan mengenai bisnis e-commerce ini, maka perlu dikaji lebih dalam.
Tags:

Berita Terkait