Bernuansa PNS, ‎FDHI Gugat PP Gaji Hakim ke MA
Berita

Bernuansa PNS, ‎FDHI Gugat PP Gaji Hakim ke MA

MA memandang permohonan FDHI memiliki tujuan baik untuk memperjuangkan kemandirian badan peradilan yang dijamin UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Para hakim yang tergabung dalam FDHI. Foto: RES
Para hakim yang tergabung dalam FDHI. Foto: RES
Seiring perjuangan RUU Jabatan Hakim, Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) melayangkan uji materi sejumlah pasal dalam  PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim ke MA. Pasalnya, beleid yang berisi kenaikan gaji dan tunjangan hakim ini dinilai telah mendegradasi kedudukan hakim sebagai pejabat negara karena struktur gaji dan tunjangan hakim masih bernuansa pegawai negeri sipil (PNS).

“PP No. 94 Tahun 2012 itu masih bernuasa PNS, padahal sejumlah undang-undang paket peradilan tahun 2009 telah mendudukan hakim sebagai pejabat negara,” ujar Koordinator FDHI, Djuyamto usai mendaftarkan uji materi di Gedung MA Jakarta, Selasa (28/4).

Dalam permohonannya, FDHI diantaranya menguji Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 PP No. 94 Tahun 2012. Ketentuan itu dianggap bertentangan dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.    

Djuyamto menegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) PP No. 94 Tahun 2012 masih menyamakan gaji hakim dengan gaji PNS. “Bahkan, di aturan sebelumnya gaji hakim dan PNS dibedakan. Tetapi, justru di PP No. 94 Tahun 2012 menyamakan gaji hakim dengan gaji PNS,” ungkapnya.  

Dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyebut dalam hal rumah negara dan sarana transportasi belum tersedia, para hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai kemampuan keuangan negara. “Kata ‘dapat’ itu menimbulkan ketidakpastian bagi hakim, karena bisa iya, bisa tidak, seharusnya ada jaminan kepastian kesejahteraan,” kata Djuyamto.

Sementara dalam Pasal 11 disebutkan pensiun hakim mengikuti ketentuan pensiun PNS. Hal ini dinilai kontradiktif ketika hakim menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pejabat negara, namun ketentuan pensiunnya mengikuti ketentuan PNS. “Ini artinya ketentuan-ketentuan itu nuansa dan terminologinya masih mengganggap hakim sebagai PNS. Ini yang akan akan kita luruskan,” tegasnya.     

Dia mengakui sebenarnya di satu sisi PP ini menguntungkan bagi hakim, tetapi dalam implementasinya bermasalah. “Sebenarnya kita itu pejabat negara atau PNS? Makanya, kita minta Pasal 3 ayat (2) PP No. 94 Tahun 2012 dihapus, kata ‘dapat’ dalam Pasal 5 ayat (2) harus dimaknai ‘wajib’, sedangkan Pasal 11 terkait pensiun PNS diubah dengan pensiun pejabat negara,” harapnya.     

Dalam permohonannya, FDHI menyertakan pandangan ahli yang mendukung argumentasi permohonan yakni Guru Besar Fakultas Hukum UNS Prof Adi Sulistiono dan Dosen FH Muhammadiyah Sumatera Utara Surya Perdana. “Mereka sependapat dengan kami, pandangan mereka sudah dilampirkan dalam permohonan kita,” katanya.

Mengacu pada PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di bawah Mahkamah Agung, disebutkan tunjangan Ketua Pengadilan Tingkat Banding sebesar Rp40,2 juta dan hakim pemula (masa kerja 0 tahun) untuk pengadilan Kelas II sebesar Rp8,5 juta. Jadi, diperkirakan take home pay hakim pemula berkisar Rp10,5 juta hingga Rp45 juta bagi hakim paling senior (hakim tinggi).

Sementara, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mempersilakan siapapun untuk mengajukan uji materi ke MA untuk memperjuangkan hak-haknya. Meski demikian, pihaknya percaya FDHI memiliki tujuan yang baik untuk memperjuangkan kemandirian badan peradilan yang dijamin UUD 1945.  

“Mungkin para hakim tak ingin terbelenggu atau terikat oleh regulasi atau institusi lain yang mengancam independensi para hakim. Mungkin mereka tidak ingin pengalaman masa lalu terulang lagi (ketika masih di bawah Departemen Kehakiman),” kata Ridwan.
Tags:

Berita Terkait