Besaran Jaminan Pensiun Sudah Lewat Kajian
Berita

Besaran Jaminan Pensiun Sudah Lewat Kajian

Atas permintaan Indonesia, ILO juga mengirimkan ahli untuk mengkaji penetapan angka itu.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Besaran Jaminan Pensiun Sudah Lewat Kajian
Hukumonline
Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Wahyu Widodo, mengatakan besaran iuran program Jaminan Pensiun (JP) sebesar 8 persen merupakan kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat koordinasi antara pemangku kepentingan. Selain Kemenaker, ada Kementerian Hukum dan HAM, Dewan Jaminan Ssosial Nasional dan BPJS Ketenagakerjaan.

Wahyu mengklaim besaran iuran 8 persen itu tidak muncul tiba-tiba, tapi telah melalui berbagai pertimbangan dan pencermatan. Pnetapan angka itu sudah melalui  survei dilakukan BPJS Ketenagakerjaan ketika masih bernama PT Jamsostek. Survei itu melibatkan sekitar 4.250 responden yang terdiri dari buruh dan pengusaha.

Hasilnya, dikatakan Wahyu, 86 persen buruh yang disurvei menyebut presentase iuran program JP yang layak ditanggung buruh sebesar 1-3 persen. Sedangkan 46 persen dari pengusaha yang disurvei mengatakan presentase iuran JP yang layak dibebankan kepada pengusaha sekitar 3-6 persen.

Kemenaker juga mempertimbangkan usulan DJSN. Menurut Wahyu lembaga yang terdiri dari perwakilan unsur pemerintah, buruh dan pengusaha itu mengusulkan besaran iuran JP yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan 8 persen. “DJSN mengusulkan kepada Kemenaker 8 persen yang paling layak,” katanya di Jakarta, Selasa (28/4).

Dibandingkan dengan 43 negara lain, besaran iuran JP yang akan diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan relatif rendah. Kemenaker juga meminta pendapat ILO tentang besaran JP. Merespon permintaan itu ILO mengirimkan tenaga ahlinya dari Kanada. Hasilnya, iuran JP sebesar 8 persen dinilai cukup baik sebagai awal untuk memulai program JP yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.

Hasil aktuaria BPJS Ketenagakerjaan juga jadi pertimbangan Kemenaker dalam menentukan besaran iuran JP. Wahyu mengatakan jika pengelolaan iuran JP tidak dilakukan secara baik sehingga manfaat lebih tinggi ketimbang besaran iuran maka BPJS Ketenagakerjaan bakal tekor karena tidak mampu membayar klaim atau manfaat kepada peserta.

Untuk itu dalam RPP JP yang sedang dibahas, ada ketentuan yang mengatur evaluasi terhadap kepesertaan, iuran dan manfaat. Evaluasi itu diperlukan agar BPJS Ketenagakerjaan dapat memberikan manfaat kepada peserta sesuai dengan amanat peraturan yang ada. Dari penghitungan aktuaria BPJS Ketenagakerjaan itu Wahyu menyebut dengan iuran JP sebesar 8 persen maka ketahanan dana yang dikelola sampai 68 tahun ke depan.

RPP
Berkaitan dengan PP tentang Jaminan Pensiun, Wahyu mengatakan Kemenaker sudah menyerahkan RPP JP kepada Kemenkumham untuk dibahas. Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto sudah menyurati Menaker dan Menkumham bahwa program JP harus beroperasi paling lambat 1 Juli 2015.

Wahyu juga menilai Kemenkeu setuju dengan besaran iuran JP 8 persen dengan catatan bila pengusaha mau menjalaninya. Sebab yang akan terkena dampak dari program JP yakni buruh dan pengusaha.

Soal tanggapan sebagian pengusaha yang menolak program JP karena dinilai sudah ada program Jaminan Hari Tua (JHT) dan pesangon, Wahyu menegaskan 5 program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS sifatnya wajib dan amanat UU SJSN dan BPJS. Ia pun mengimbau Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) agar tidak khawatir terhadap program JP BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, manfaat yang diberi JP untuk pesertanya yakni manfaat dasar. Sedangkan pangsa pasar DPKK dan DPLK yakni masyarakat yang membutuhkan manfaat lebih dari dasar.

Sebelumnya, Wakil Sekretaris Umum Apindo, Iftida Yasar, mengatakan pengusaha merasa terbebani menanggung iuran jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS baik itu Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Salah satunya besaran iuran program JP sebesar 8 persen yang dinilai sangat krusial menentukan arah ke depan. Sebab, manfaat JP baru bisa diperoleh minimal 15 tahun kemudian dan bentuknya manfaat pasti. “Ini memberatkan dunia usaha,” katanya.

Iftida berpendapat jika dana JP yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan tidak cukup untuk memberikan manfaat atau membayar klaim kepada peserta maka pemerintah akan melakukan sejumlah hal. Seperti memperpanjang usia pensiun dan besaran iuran diperbesar. Ia menilai hal itu menimbulkan ketidakpastian.

Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan serikat buruh mendesak pemerintah untuk menjalankan program JP yang digelar BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 1 Juli 2015. Selain itu manfaat yang diterima peserta harus 60-75 persen dari upah terakhir. “Kami mengusulkan besaran iuran JP 12 persen (ditanggung pengusaha 9 persen dan buruh 3 persen) dengan manfaat pensiun yang diterima nanti 60 persen dari upah terakhir,” ujarnya.

Iqbal menghitung jika iuran JP hanya 8 persen maka manfaat yang diterima nanti sekitar 25 persen dari upah terakhir. Besaran manfaat yang diterima itu menurutnya tidak layak bagi buruh karena tidak bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup setiap hari ketika masuk masa pensiun.
Tags:

Berita Terkait