Mendesak, Kesepakatan Global Penanganan Perubahan Iklim
Berita

Mendesak, Kesepakatan Global Penanganan Perubahan Iklim

Indonesia diharapkan menjembatani perbedaan pandangan antarnegara soal perubahan iklim.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Mendesak, Kesepakatan Global Penanganan Perubahan Iklim
Hukumonline
Tahun 2015 menjadi periode yang krusial dalam perundingan perubahan iklim. Pasalnya, di bulan Desember mendatang Kesepakatan Baru Rezim Perubahan Iklim Global akan diadopsi pada Conference of the Parties (COP) to the United Nations Framework Convention on Climate Change di Paris. Sebelumnya, dalam COP ke-20 di Peru tahun 2014 lalu telah dihasilkan draft teks kesepakatan.

Kebutuhan adopsi kesepakatan global yang mengikat untuk penanganan perubahan iklim dinilai makin mendesak. Sebab, dampak dari perubahan iklim makin nyata. Terkait dengan hal itu, Direktur Eksekutif South Center, Martin Khor, menegaskan harus ada kejelasan arah dan elemen bagi kesepakatan perubahan iklim yang berlaku secara universal pasca 2020.

South Center merupakan organisasi antar pemerintah yang berdiri semenjak 31 Juli 1995 di Jenewa untuk memajukan kepentingan bersama negara-negara berkembang di forum internasional. Indonesia merupakan salah satu negara pendirinya. Selama ini South Center telah secara aktif menyuarakan kepentingan negara berkembang dalam negosiasi kesepakatan baru perubahan iklim.

Martin menambahkan, implementasi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dalam bentuk aksi nyata mitigasi negara-negara maju menjadi semakin penting bagi keadilan dalam upaya global pengendalian perubahan iklim. Terlebih, menurutnya, telah semakin banyak negara berkembang termasuk Indonesia yang telah menunjukkan komitmen secara sukarela untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

“Negara-negara dunia ketiga dan negara kepulauan kecil memerlukan bantuan bukan hanya dalam bentuk pendanaan melainkan juga dalam pengembangan dan alih teknologi serta pengembangan kapasitas untuk menangani dampak perubahan iklim yang semakin nyata dirasakan,” ujarnya dalam diskusi mengenai perundingan perubahan iklim, di Jakarta (12/5).

Martin juga mengapresiasi peran Indonesia sebagai pelopor Konferensi Asia Afrika Bandung 1955. Menurutnya,hal ini menjadi bukti Indonesia mampu mempelopori landmark event untuk negara berkembang. Lebih lanjut menurut Martin Khor, Indonesia berperan dalam mengkatalisasi terobosan-terobosan Kerja Sama Selatan-Selatan dan Gerakan Non Blok.

Lebih dari itu, ia juga melihat Indonesia mampu tampil pula mengkalatisasi kerja sama untuk perubahan iklim, termasuk penyelenggaraan COP 13/UN Climate Change Conference di Bali pada tahun 2007. Ia menilai penyelenggaraan itu secara historis dan filosofis membangun prinsip keadilan dan kesetaraan untuk pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup.

“Ke depannya, Indonesia diharapkan melakukan peran yang lebih signifikan untuk menjembatani perbedaan pandangan antarnegara pihak khususnya negara maju dan negara berkembang,” tegasnya.

Martin menyampaikan pula, sebagai strategi menghadapi COP 21 di Paris, Kelompok 77 dan Tiongkok diharapkan dapat membuat posisi bersama mengenai beberapa isu krusial. Ia merinci, ada isu mengenai adaptasi, dukungan peningkatan kapasitas, pendanaan, dan transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Sementara itu, ia mengakui pula adanya perbedaan kondisi dan prioritas nasional.

“Negara berkembang diperkirakan akan menghadapi tantangan yang lebih besar untuk membuat posisi bersama di bidang mitigasi,” tambahnya.

Di sisi lain, Pengurus South Center Sanya Reid Smith, menilai penting pula adanya peningkatan komitmen dan aksi negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di bawah Protokol Kyoto dalam periode komitmen kedua. Ia juga berharap, negara maju yang tidak berada di bawah Protokol Koto bisa memastikan pencapaian target global.

Sebagaimana diketahui, UNFCCC sendiri telah meminta seluruh Negara Pihak untuk mempersiapkan dan menetapkan target mitigasi kenaikan suhu rata-rata global yang tidak melebihi 2 derajat Celcius pada tahun 2020 dibandingkan dari suhu rata-rata global sebelum Revolusi Industri.

Sanya menilai, salah satu tindakan nyata yang diperlukan bagi negara-negara maju adalah ratifikasi segera Doha Amendement untuk kekuatan hukum implementasi Protokol Kyoto periode komitmen kedua. Ia mengatakan, negara-negara maju seharusnya memenuhi tanggung jawabnya untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca.

“Sebagian negara maju tidak berada di bawah Protokol Kyoto, maka mereka harus bisa menunjukkan komitmen dan aksi nyata mitigasi yang dapat disetarakan dengan komitmen dan aksi dari negara maju yang berada di bawah Protokol Kyoto dan melakukannya selama periode komitmen kedua,” pungkas Sanya.
Tags:

Berita Terkait