Ribut Besaran Iuran, BPJS Ketenagakerjaan Bisa Terhambat
Utama

Ribut Besaran Iuran, BPJS Ketenagakerjaan Bisa Terhambat

BPJS Ketenagakerjaan akan efektif berlaku per Juli 2015. Perangkat teknis hukumnya belum rampung. Pembahasan tentang besaran iuran alot.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri masih berharap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Pensiun (RPP JP) rampung Mei ini. RPP inilah salah satu perangkat regulatif yang paling alot pembahasannya dibanding program jaminan sosial lain Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm).

Hingga awal pekan ini, proses pembahasan RPP JP masih berlangsung. Para pemangku kepentingan masih berbeda pandangan, terutama besaran iuran JP. Toh, Menteri Hanif Dhakiri tetap berharap RPP-nya selesai pada Mei ini. “Saya berharap bulan ini pembahasan dan keputusannya telah selesai. Jaminan pensiun mandat Undang-Undang BPJS jadi harus segera dijalankan,” katanya usai mengikuti rapat koordinasi di kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, Senin (18/5).

Hanif menjelaskan rapat koordinasi tersebut membahas semua masukan mengenai pelaksanaan program JP. Masukan dari para pemangku kepentingan perlu agar pemerintah dapat mengambil keputusan yang rasional.

Hanif mengakui masih ada beberapa norma yang perlu dikuatkan. Peserta program JP yakni pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara. Bagi pekerja yang pemberi kerjanya adalah penyelenggara negara maka akan diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029. Program JP bermanfaat antara lain  mengurangi beban pemberi kerja dalam melaksanakan pembayaran pesangon ketika pekerja masuk usia pensiun. Program ini juga mengganti penghasilan pekerja yang hilang ketika pensiun. “Pengusaha dan pekerja dapat merencanakan biaya yang harus dialokasikan dalam program Jaminan Pensiun,“ ujarnya.

Hanif mengatakan prinsip dasar program JP adalah asuransi sosial/tabungan wajib dengan manfaat pasti. Masa iuran minimal 15 tahun dengan batas usia pensiun minimum 56 tahun. Manfaat yang diperoleh yakni pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal. Kemudian, pensiun cacat, manfaatnya diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau penyakit sampai meninggal dunia. Lalu pensiun janda/duda, manfaatnya diterima janda/duda ahli waris peserta sampai meninggal dunia atau menikah lagi.

“Selain itu jenis manfaat yang didapatkan berdasarkan ketentuan adalah pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah; serta Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan,“ kata Hanif.

Manfaat JP diberikan setiap bulan jika masa iuran mencapai 15 tahun dan masuk usia pensiun. Untuk peserta yang masa iurannya kurang dari 15 tahun tapi sudah mencapai masa pensiun maka manfaat dibayar secara tunai.

Iuran
Salah satu isu yang krusial adalah besaran iuran. Hingga kini masih terjadi silang pendapat antar pemangku kepentingan. DJSN sudah pernah memberi peringatan atau warning. Kalau rebut terus mengenai besaran iuran, ada kekhawatiran BPJS Ketenagakerjaan terhambat.

Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Wahyu Widodo, mengatakan dalam rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian itu ada sejumlah masukan terkait besaran iuran JP. Kemenaker dan DJSN mengusulkan besaran 8 persen, Apindo 1,5 persen dan Kemenkeu 3 persen. Ia menyebut Menko Perekonomian Sofyan Djalil berjanji akan membawa berbagai usulan itu dalam rapat kabinet terbatas. “RPP JP diperkirakan Mei selesai,” ujarnya.

Wahyu berharap RPP JP segera disahkan dengan iuran di tahap awal sebesar 8 persen. Jika penyelesaiannya berlarut dikhawatirkan menghambat pelaksanaan program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015.

Koordinator advokasi BPJS Watch sekaligus Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan sampai sekarang pemerintah belum menyelesaikan RPP JP. Masalahnya, terkait besaran iuran antara usulan Kemenaker dan DJSN (8 persen) dengan Apindo (1,5 persen).

Timboel mengusulkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertindak tegas memutuskan besaran iuran JP. Besaran iuran sebesar 8 persen dinilai layak untuk tahap awal menjalankan program JP. “Seharusnya Presiden berani tegas dan segera menandatangani RPP JP dan segera mensosialisasikan satu setengah bulan ini sebelum 1 juli 2015,” katanya kepada hukumonline di Jakarta, Rabu (20/5).

Timboel menilai jika iuran JP sebesar 1,5 persen maka akan menimbulkan masalah bagi buruh ketika pensiun. Sebab, manfaat yang diterima sangat kecil dan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup layak bagi buruh dan keluarganya. Padahal, pasal 39 UU SJSN mengamanatkan agar program JP harus mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi buruh dan keluarganya.

Jika iuran JP 1,5 persen atau 3 persen maka manfaat yang akan diterima kurang dari 10 persen dari upah terakhir. Mengutip standar ILO, Timboel mengatakan pekerja yang pensiun paling sedikit harus menerima 40 persen dari rata-rata upah terakhir.

Merujuk kajian DJSN, Timboel mengatakan iuran 8 persen dengan masa iuran 15 tahun akan memberikan manfaat sebesar 22,5 persen dari rata rata upah terakhir. Jika peserta sudah mengiur selama 20 tahun maka manfaat yang akan diterima ketika pensiun yaitu 34 persen.
Tags:

Berita Terkait