Pertimbangan Grasi Perlu Diperjelas
Berita

Pertimbangan Grasi Perlu Diperjelas

UU Grasi tidak memberikan batasan dan pertimbangan yang jelas bagi presiden dalam pemberian grasi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Wahyudi Djafar (tengah) saat menyampaikan perbaikan permohonan dalam sidang uji materi UU Grasi, Rabu (3/6). Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon Wahyudi Djafar (tengah) saat menyampaikan perbaikan permohonan dalam sidang uji materi UU Grasi, Rabu (3/6). Foto: Humas MK
Sidang perbaikan permohonan uji materi Pasal 51 ayat (1) huruf a UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi terkait larangan Warga Negara Asing (WNA) menguji Undang-Undang Indonesia dan kriteria/pertimbangan presiden dalam pemberian grasi digelar di MK. Permohonan ini diajukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS),Imparsial, serta tiga aktivis yakni Rangga Sujud Widigda, Ambar Jayadi, dan Luthfi Saputra.

Kuasa hukum pemohon, Wahyudi Djafar, menjelaskan penerapan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasimenimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, tidak ada indikator (ukuran) yang jelas, transparan dan akuntabelmengenai pertimbangan presiden ketika menolak dan mengabulkan pemberian grasi yang diajukan seseorang.

“Pasal tersebut tidak mewajibkan presiden memberikan pertimbangan yanglayak dalam setiap permohonan grasi, sehingga tidak ada alat ukur dan indikator yang pasti, transparan dan akuntabel perihal permohonan grasi,” ujar Wahyudi Djafar dalam sidang perbaikan di gedung MK, Rabu (03/6).

Pasal 11 ayat (1), (2) UU Grasi menyebutkan “Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.” Ayat (2)-nya disebutkan “Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.”

Wahyudi menegaskan rumusan pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya karena tidak memberikankewajiban secara eksplisit kepada presiden untuk mempertimbangkan setiap permohonan grasi. Misalnya dengan mempertimbangkan faktor individualitas kepada masing-masing pemohon grasi.

“Kita memohon MK memberi pemaknaan ulang terhadap Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi, yakni dengan meletakkan kewajiban eksplisit bagi presiden untuk menerima, memproses dan mempertimbangkan dengan layak tiap permohonan grasi yang masuk,” harap Wahyudi.

Menurutnya, selama ini presiden telah sewenang-wenang menggunakan haknya untuk memberikan grasi yaitu dalam memutuskan penolakan dan penerimaan grasi tanpa didasari pada penelitian yang layak mengenai aspek individualitas dari masing-masing pemohon dan tidak memberikan pertimbangan yang layak.

Akibat tidak ada kewajiban memberikan pertimbangan, Presiden hanya sekadar menyatakan bahwa “terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi” atau “tidak terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi” dalam keputusan pemberian atau penolakan grasi. Padahal,pada dasarnya grasi adalah untuk menunjukkan aspekhumanisme dari penyelenggara negara.

Persoalannya, UU Grasi tidak memberikan batasan dan pertimbangan yang jelas bagi presiden dalam pemberian grasi.Karena itu, para pemohon meminta tafsir MK atas Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2)  UU Grasi. Mereka meminta MK menambahkan frasa agar rumusanpasal tersebut lebih jelas indikator dasar pertimbangan presiden dalam pemberian grasi.

“Pasal itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai, presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon grasi dan permohonan grasinya. Selain itu, Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi dengan disertai alasan yang layak,” pintanya.

Sedangkan Pasal 51 ayat (1) hurufa UU MK dimaknai WNA bisa menjadi pemohon pengujian undang-undang sepanjang menyangkut HAM.

Sebelumnya, pengujian pasal ini bersamaan dengan permohonan yang diajukan anggota duo Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, warga negara asing terpidana mati kasus narkotika. Mereka jugamengajukan dua pasal yang sama terkait larangan Warga Negara Asing (WNA) menguji undang-undang Indonesia dan kriteria/pertimbangan presiden dalam pemberian grasi yang dinilai belum komprehensif.

Namun, karena keduanya telah dieksekusi permohonan merekadiminta untuk dicabut melalui kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis. Untuk diketahui, dua terpidana hukuman mati duo Bali Nine telah dieksekusi pada 28 April 2015 lalu. Namun, sebelum dieksekusi, mereka mengajukan uji materi ke MK. MA menganggap permohonan itu gugur.
Tags:

Berita Terkait