PHI dan Harapan Pengadilan (yang Berkeadilan) Bagi Buruh
Kolom

PHI dan Harapan Pengadilan (yang Berkeadilan) Bagi Buruh

PHI dituntut harus dapat mandiri dan dapat melaksanakan fungsinya mulai dari pendaftaran perkara hingga eksekusi putusan dengan independen tanpa tergantung dari instansi lain ataupun instansi induk.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Peringatan hari buruh sedunia (May Day) 2015 yang telah dilalui sedianya meninggalkan banyak tuntutan terhadap negara yang harus dikawal untuk dapat direalisasikan. Salah satunya adalah adanya perbaikan regulasi pengadilan hubungan Industrial (PHI) yang pengaturannya terdapat dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).

Semenjak berlaku efektif pada 2015, UU PPHI dianggap masih memiliki banyak kelemahan baik dari aspek pelaksanaan maupun secara regulatif. Masuknya RUU Perubahan mengenai UU PPHI dalam daftar RUU Prolegnas Prioritas 2015 patut disyukuri sekaligus juga harus dijadikan momentum bagi para pihak pelaku dan potensial pelaku penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk menyuarakan apa yang kiranya perlu diperbaiki.

Hukum sebagaimana diyakini Lelio Basso, mempunyai efektivitas bagi peningkatan peranan buruh (M. Kusumah, 1981). Oleh karena itu perumusan perubahan UU PPHI nanti mutlak kiranya melibatkan secara aktif elemen buruh dengan pembahasan yang terbuka oleh akses publik guna mengakomodasi berbagai kepentingan. Hal tersebut menjadi penting agar produk yang dihasilkan dapat mengakomodasi permasalahan esensial yang sesungguhnya terjadi perihal perlunya perubahan UU PPHI.

Penulis meyakini bahwa RUU perubahan UU PPHI merupakan bagian dari hukum perburuhan yang pada hakekatnya berisi perlindungan buruh/pekerja dengan tanpa mengesampingkan ketenangan dan stabilitas investasi berusaha.

Dalam perubahan UU PPHI ke depan, setidaknya terdapat tiga hal pokok yang dapat dipikirkan oleh para aktor legislator untuk bisa dimasukan dalam perubahan undang-undang ini. Pertama mengenai nomenklatur judul UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Nomenklatur tersebut berimplikasi setidaknya pada dua hal utama. Yakni sebagai regulasi mengharuskan adanya pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak hanya dalam level pengadilan, melainkan mulai dalam level bipartit antara buruh/pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh dengan perusahaan ataupun level tripartit dengan beberapa bentuk yang disediakan yakni mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Mata rantai penyelesaian yang panjang tersebut membuat pengaturan penyelesaian di dalam level pengadilan tidak banyak disinggung.

Selain itu, mengenai ruang lingkup peselisihan permasalahan hubungan perburuhan kesan yang tampak menjadi terbatasi hanya dalam permasalahan hubungan perburuhan dalam ruang lingkup hubungan perburuhan dalam sektor industri. Oleh karena itu, perlu perubahan nomenklatur yang mengakomodasi subjek hukum yang dapat memperselisihkan perkaranya dalam ruang lingkup PPHI.

Kondisi demikian membuat pengaturan mengenai hukum acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di PHI tidak banyak pengaturannya dan regulasi yang ada membuat terbatasnya kewenangan PHI dalam menerima perkara. Sebagaimana UU PPHI mengatur, PHI tidaklah memiliki hukum acara sendiri, melainkan tetap mengacu kepada hukum acara perdata pada umumnya kecuali diatur tersendiri dalam UU PPHI. Padahal dengan bentuk pengadilan khusus perburuhan yang mempunyai karakteristik tersendiri, menjadi penting pengaturan yang spesifik dan khas tiap prosedur dan tata acara perselisihan di PHI.

Definisi mengenai PHI juga harus melampaui dari kewenangan PHI sebagaimana diatur dalam UU PPHI yang hanya membatasi empat jenis perselisihan yang dapat dibawa ke PHI (hak, kepentingan, PHK, dan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan). Perselisihan dalam revisi UU PPHI seyogianya berlandaskan pada implikasi adanya hubungan kerja secara keseluruhan dan tidak terbatas pada hubungan kerja pada buruh/pekerja industri. Pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, ataupun pekerja informal lainnya harus dapat diberikan saluran menyuarakan keadilan oleh PHI sebagai upaya hukum dalam memperjuangkan adanya pelangggaran yang terjadi di dalam hubungan perburuhan yang mereka alami. Dengan demikian, 43 juta-an buruh/pekerja (BPS, Februari 2014) terbuka untuk berperkara di PHI.

Perselisihan yang akan menjadi kewenangan PHI ke depannya juga harus mampu memilah mana yang dapat diperselisihkan dan mana yang tidak. Dalam konteks pelaksanaan hak perburuhan, sepatutnya tidak harus diperselisihkan, melainkan bagaimana PHI menjadi lembaga peradilan yang dapat memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dengan kewenangan eksekutorial.

Selain itu juga dapat dibuka kemungkinan pidana yang timbul dalam hubungan perburuhan yang selama ini telah ada pengaturannya namun tidak efektif pelaksanaannya dapat pula menjadi kewenangan PHI agar permasalahan perburuhan dapat bermuara pada satu lembaga peradilan. Beberapa jenis tindak pidana dalam konteks hubungan perburuhan yang umum terjadi diantaranya pidana mengenai pelanggaran hak berserikat dan pidana pembayaran upah di bawah upah minimum.

Kedua, mengenai cita pengadilan yang bertujuan menyelesaikan perkara dengan cepat, tepat, adil, dan biaya murah. UU PPHI sesungguhnya mengamanatkan agar di tiap kabupaten/kota dibentuk PHI sendiri pada setiap pengadilan negeri. Namun faktanya hingga kini sepanjang pengetahuan penulis hanya PHI Gresik yang merupakan PHI yang dibentuk di luar ibukota provinsi. Beberapa kab/kota dengan daerah industri besar seperti Kabupaten Bekasi, Karawang, Bogor, Pasuruan, Mojokerto, dan Batam tidak punya. Jika buruh berperkara di daerah ini harus ke PHI yang letaknya di ibukota provinsi yang jaraknya cukup jauh.

Kasus Batam bisa jadi contoh menarik, di mana para pekerja/buruh yang berperkara harus naik kapal ferry menuju PHI Tanjung Pinang. Padahal secara administratiif perkara yang masuk d PHI Tanjung Pinang lebih banyak berasal dari permasalahan hubungan industrial yang terjadi di Batam yang merupakan daerah Industri. Meskipun nilai perkara di bawah seratus lima puluh juta rupiah tidak dikenakan biaya perkara, namun waktu dan biaya perjalanan tentu menghabiskan jumlah yang tidak sedikit. Dari situasi demikian setidaknya unsur biaya murah dalam penyelesaian perkara menjadi tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu pelaksanaan perlunya dibentuk PHI dengan sumberdaya operasionalnya di tiap kab/kota terlebih untuk daerah industri menjadi suatu yang harus disegerakan.

Ketiga, mengenai penegasan pelaksanaan perihal putusan Mahkamah Konstitusi terkait hukum perburuhan. Berapa ketentuan norma hukum yang mengatur masalah perburuhan telah dinyatakan tidak berlaku ataupun ditafsirkan konstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga dalam prakteknya terdapat berbagai pelaksanaan putusan MK yang berbeda-beda antara majelis hakim PHI satu dengan lainnya. Beberapa norma terkait yang bisa dimasukan diantaranya masalah administrasi pendaftaran gugatan yang terkait dengan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja yang kini tidak dibatasi selama 2 tahun (perkara Nomor 100/PUU-X/2012) dan keharusan hakim PHI untuk melaksanakan putusan MK no 37/PUU-IX/2011 yang menyatakan pembayaran upah kepada pekerja/buruh haruslah tetap dibayarkan hingga perkara tersebut berkekuatan hukum tetap (upah proses) yang selama ini dalam putusan Majelis Hakim PHI sangat bervariasi menafsirkannya.

Sebagai wadah pencari keadilan bagi buruh ataupun pengusaha, PHI dituntut harus dapat mandiri dan dapat melaksanakan fungsinya mulai dari pendaftaran perkara hingga eksekusi putusan dengan independen tanpa tergantung dari instansi lain ataupun instansi induk. Di sisi lain, sebagai hukum formil dari pengaturan substansi hubungan perburuhan yang ada dari berbagai UU lainnya, seperti UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, PHI kiranya dapat menjadi wadah yang utuh untuk mampu menampung sekaligus menyalurkan secara adil permasalahan hukum yang mungkin timbul dari hubungan perburuhan yang terjadi dengan didasarkan pada kapasitas dan fasilitas sumberdaya mumpuni yang disediakan oleh negara.

*) Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum UI, pernah bekerja di Trade Union Right Centre dengan jabatan terakhir kepala Divisi Advokasi. Ketua Pusat Kajian Kebijakan Advokasi Perburuhan (PAKKAR)
Tags:

Berita Terkait