Pemerintah Dukung Upaya Pelaku Kawin Campur
Utama

Pemerintah Dukung Upaya Pelaku Kawin Campur

Pemerintah berharap MK bisa memberi terobosan atau jalan hukum persoalan yang dialami pemohon dan pelaku kawin campur.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pemerintah yang diwakili Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi dalam sidang uji materi UU Agraria dan UU Perkawinan, Rabu (29/7). Foto: Humas MK
Pemerintah yang diwakili Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi dalam sidang uji materi UU Agraria dan UU Perkawinan, Rabu (29/7). Foto: Humas MK
Pemeritah mengatakan memahani persoalan para pelaku perkawinan campur yang selama ini kesulitan memperoleh rumah berstatus Hak Milik (HM) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Karena itu, pemerintah memandang perlu ada instrumen hukum baru dalam bentuk peraturan menteri atau undang-undang guna mewadahi persoalan yang dialami pelaku kawin campur.

“Kita tahu pemohon sudah menempuh berbagai upaya antara lain berkirim surat ke Dirjen HAM, meminta legal opinion ke Kementerian Agraria, namun ternyata keadilan belum diraih,” ujar Dirjen HAM Kemenkumham, Mualimin Abdi saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam sidang pengujian UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi, Rabu (29/7). Permohonan diajukan oleh Ike Farida, seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan pria warga negara Jepang.

Mualimin mengakui memang ada persoalan yang dialami pemohon dan komunitas pelaku kawin campur di Indonesia. Belum ada instrumen hukum yang mengatur masalah yang dikeluhkan pelaku kawin campur. Dalam UU Perkawinan, perjanjian perkawinan umumnya dibuat sebelum perkawinan berlangsung.

Karena itu, Pemerintah  berharap MK bisa memberi terobosan atau jalan hukum persoalan yang dialami pemohon. Pemerintah yakin persoalan hukum pelaku kawin campur yang mengakibatkan mereka tidak bisa memiliki HM dan HGB tidak hanya dialami pemohon. “Saya yakin banyak sekali orang Indonesia menikah dengan orang asing mau tidak mau akan
terkait dengan kepemilikan rumah atau properti. Ini perlu kita pikirkan bersama.”

Dalam keterangannya, pemerintah tidak akan menguraikan apakah ketentuan yang dimohonkan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Pemerintah hanya ingin mendorong agar MK bisa membuat terobosan atas persoalan ini dalam rangka memberi perlindungan bagi setiap warga negara.

“Setelah ada putusan MK, nantinya pemerintah perlu memikirkan langkah apa yang ditempuh agar pihak-pihak seperti yang dialami pemohon tidak terjadi dan kerugian konstitusionalnya dapat dipulihkan. Pemerintah memohon kepada majelis hakim, untuk memberikan putusan seadil-adilnya,” harapnya.

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengamini pandangan pemerintah ada banyak persoalan yang timbul akibat perkawinan campuran karena belum ada regulasinya. Dia mempertanyakan berapa jumlah warga negara Indonesia (wanita) yang menikah dengan asing.

“Apa pemerintah punya data lengkap berapa jumlah pelaku kawin campur ini? Fakta sosiologis ini bisa menjadi bahan bagi pemerintah. Atau, ada semacam inisiatif presiden  dalam bentuk undang-undang untuk mengatasi persoalan ini. Persoalan ini akan menjadi persoalan serius. Sementara MK memiliki kewenangan terbatas, nanti ini akan kita tanyakan pada DPR,” kata Palguna.

Ike Farida memohon pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA berkaitan dengan syarat kepemilikan Hak Milik dan HGB yang hanya boleh dimiliki WNI, serta Pasal 29 ayat (1) dan (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan dan harta bersama. Penyebabnya, WNI yang menikah dengan WNA tak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB karena terbentur aturan Perjanjian Perkawinan dan Harta Bersama.

Pasal 21 ayat (3) UUPA memberi hak kepada WNA mendapat HM karena warisan atau percampuran harta karena perkawinan. Namun WNI mempunyai HM (dalam perkawinan campuran) “sejak diperolehnya hak” itu. Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya HM itu.

Pemohon menganggap siapapun WNI yang menikahi WNA selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta, tidak akan pernah bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Kalaupun ada WNI kawin campur memiliki perjanjian pemisahan harta,  ia tetap tidak bisa membeli rumah karena ada kewajiban melepaskan hak tersebut dalam setahun.

Menurut pemohon, pasal-pasal dianggap diskriminasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, pemohon meminta penafsiran pasal-pasal itu. Dan kini, upayanya mendapat dukungan dari Pemerintah.
Tags:

Berita Terkait