Pemohon Kawin Campur Dapat Dukungan Perca
Pengujian UUPA dan UU Perkawinan:

Pemohon Kawin Campur Dapat Dukungan Perca

Perca Indonesia tengah mengumpulkan petisi dukungan dan mengumpulkan kasus-kasus yang dialami WNI pelaku kawin campur.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon Kawin Campur Dapat Dukungan Perca
Hukumonline
Pemohon uji materi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Ike Farida memperoleh dukungan moral dari masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (Perca Indonesia). Pasalnya, persoalan kawin campur yang berakibat kesulitan membeli rumah berstatus Hak Milik (HM) atau Hak Guna Bangunan (HGB) ternyata sudah menjadi fenomena sosial.

“Perca Indonesia yang didirikan pada Mei 2008 mendukung penuh upaya Ike Farida menggugat UUPA dan UU Perkawinan. Sebab, hampir semua WNI pelaku perkawinan campuran merasa bingung, khawatir, dan didiskriminasi,” ujar Ketua Perca Indonesia, Juliani W. Luthan di gedung MK, Rabu (24/6) kemarin.

Juliani mengungkapkan persoalan Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan kawin campur dan berakibat kesulitan memiliki rumah hampir terjadi di seluruh penjuru Indonesia. Perca sudah beberapa kali melakukan sosialisasi, seminar, dan bedah kasus terkait isu kepemilikan tanah dan bangunan bagi WNI pelaku kawin campur karena banyak anggota Perca Indonesia yang menanyakan aturan sebenarnya seperti apa.

“Mereka sering mengalami penolakan oleh notaris atau advokat dari pihak penjual/pembeli, pengembang/bank saat membeli, menjual, atau mengagunkan rumah berstatus HM atau HGB dengan alasan karena menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) tanpa perjanjian pernikahan sebelumnya,” ungkapnya.

Dijelaskan Juliani, selama ini pelaku kawin campur kerap dihadapkan pada dilema ketika akan membeli tanah dan bangunan. Tidak jarang pelaku kawin campur seolah dipaksa untuk menyiasati kondisi yang ada ketika jual-beli rumah. Misalnya, memalsukan identitas dengan status belum menikah, meminjam nama kerabat atau orang lain, atau disarankan untuk bercerai dulu agar bisa membuat perjanjian kawin.

“Tentunya, kondisi ini sangat beresiko besar yang merugikan WNI pelaku kawin campur karena tidak ada kepastian dan perlindungan hukum,” keluhnya.

Untuk itu, Perca Indonesia mendukung penuh uji materi sejumlah pasal dalam UUPA dan UU Perkawinan terkait syarat kepemilikan HM dan HGB yang hanya boleh dimiliki WNI serta perjanjian perkawinan dan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Mengapa? Setelah kawin campur, ketika WNI hendak membeli rumah selalu dihadapkan pada ketentuan ‘harta bersama’, sehingga otomatis separuhnya menjadi milik WNA. Atau, WNI tidak bisa membeli rumah apabila tidak ada perjanjian pemisahan harta.

“Kita tengah mengumpulkan petisi dukungan dan mengumpulkan kasus-kasus yang dialami WNI pelaku kawin campur di seluruh Indonesia. Kita minta MK mengabulkan permohonan anggota kami, Ike Farida,” harapnya.

Untuk diketahui, Ike tengah memohon pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA berkaitan dengan syarat kepemilikan Hak Milik dan HGB yang hanya boleh dimiliki WNIserta Pasal 29 ayat (1), (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan dan harta bersama. Soalnya, WNI yang menikah dengan WNA tak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB karena terbentur aturan Perjanjian Perkawinan dan Harta Bersama.

Pasal 21 ayat (3) UUPA memberi hak kepada WNA mendapat HM karena warisan atau percampuran harta karena perkawinan. Namun WNI mempunyai HM (dalam perkawinan campuran) “sejak diperolehnya hak” itu. Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya HM itu.

Pemohon menganggap siapapun WNI yang menikahi WNA selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta, tidak akan pernah bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Kalaupun ada WNI kawin campur memiliki perjanjian pemisahan harta,  ia tetap tidak bisa membeli rumah karena ada kewajiban melepaskan hak tersebut dalam setahun. Menurutnya, pasal-pasal dianggap diskriminasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, pemohon meminta penafsiran pasal-pasal itu.
Tags:

Berita Terkait