Akhirnya, Aturan Larangan Calon Tunggal Pilkada Digugat
Berita

Akhirnya, Aturan Larangan Calon Tunggal Pilkada Digugat

Majelis mengkritik petitum permohonan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon pengujian UU Pilkada dalam sidang perdana, Rabu (19/8). Foto: Humas MK
Pemohon pengujian UU Pilkada dalam sidang perdana, Rabu (19/8). Foto: Humas MK
Akhirnya, sejumlah ketentuan terkait larangan calon pasangan tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan ini diajukan sejumlah pemohon dalam perkara terpisah. Mereka adalah pakar komunikasi politik Universitas Indonesia Effendy Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru, warga Surabaya Aprizaldi Siswanto dan Alex Andreas, dan Whisnu Sakti Buana dan Syaifuddin Zuhri.

Effendi Gazali mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) terkait ketentuan minimal pasangan calon dalam Pilkada. Secara khusus, Effendi memohon pengujian Pasal 49 ayat (8) dan (9); Pasal 50 ayat (8) dan (9); Pasal 51 ayat (2); Pasal 52 ayat (2); Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Pilkada.

Pasal 49 ayat (8) menyebutkan “Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 pasangan calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 10 hari.” Sedangkan, “Pasal 51 ayat (2) menyebutkan “Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksud ayat (1), KPU Provinsi menetapkan paling sedikit 2 pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan Keputusan KPU Provinsi”.

Effendi mengakui sudah terdapat inisiatif perpanjangan waktu untuk tujuh daerah yang sebelumnya hanya memiliki pasangan calon tunggal. Namun, bagaimana nasib 80-an daerah lain yang hanya memiliki dua pasangan calon jika nanti terdapat satu hal yang menghalangi salah satu pasanagan calon?

“Hak memilih warga negara yang tinggal di daerah dengan pasangan calon tunggal jelas dirugikan,” ujar Effendi dalam persidangan perdana yang diketuai Patrialis Akbar di ruang sidang MK, Rabu (10/8).

Pakar komunikasi politik menilai aturan larangan calon tunggal tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan bersifat diskriminatif. Karena itu, dia meminta MK menghapus pasal-pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Meski begitu, Effendi dan Yayan Sakti Suryandaru yang terdaftar sebagai pemohon No. 100/PUU-XIII/2015 ini mengusulkan pemilih calon pasangan tunggal dihadapkan kolom kosong calon tunggal dalam satu surat suara untuk membuktikan calon tunggal benar-benar dipilih rakyat atau pe“Apapun hasilnya, legitimasinya kuat karena rakyat sudah memilih,” kata pemohon.

Dia menambahkan terjadinya calon tunggal ini disebabkan karena adanya petahana atau rising star (pendatang baru) yang kuat dan sulit dikalahkan sehingga tidak ada yang mau maju lagi dalam Pilkada karena akan buang-buang uang saja. “Tapi ada indikasi juga partai politik tunda pilkada agar calon itu popularitasnya turun,” lanjutnya.

Menurutnya, jika hanya calon tunggal Pilkada akan diundur hingga 2017, maka warga negara mengalami kerugian konstitusional karena kepala daerahnya hanya pelaksana tugas (Plt) yang tidak bisa mengambil kebijakan strategis sehingga akan memperlambat pembangunan.

Ketentuan larangan calon tunggal ini juga digugat pemohon No. 95/PUU-XIII/2015 atas nama Aprizaldi, Andri Siswanto, Alex Andreas yang menilai pasal-pasal itu mengakibatkan gagalnya penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 jika tidak ada calon yang mendaftar.

Pemohon No. 96/PUU-XIII/2015 atas nama Whisnu Sakti Buana dan H Syaifuddin Zuhri melalui kuasanya, Edward Dewaruci menilai ada kelemahan di UU Pilkada yang menyebabkan adanya situasi yang tidak menentu dan tidak adanya kepastian hukum. Mereka sudah daftar resmi, memenuhi persyaratan sesuai UU, tapi kemudian terkatung-katung karena ada ketentuan harus ada dua pasangan calon dulu.

Edward mengatakan jangan sampai ketidakpastian dan ada penundaan Pilkada karena hanya memiliki satu pasangan calon. “Kami mohon Mahkamah memerintahkan KPU selaku penyelenggara untuk mencabut penetapan penundaan pemilihan dan tetap melanjutkan pilkada di 9 Desember 2015,” pintanya.

Anggota Majelis Panel, I Dewa Gede Palguna mengkritik petitum permohonan yang satu sisi minta dihapus. Tetapi, di sisi lain minta ditafsikan ulang oleh MK. “Kami baca petitumnya itu sepertinya kita disuruh jadi positif legislator ya dengan membuat rumusan yang rumit. Ini juga belum tentu dipahami kalau rumusannya begini. Barangkali petitumnya bisa dibuat lebih sederhana,” kata Palguna. 

Mengenai permintaan masa sidang dipercepat, hakim Patrialis Akbar menyatakan perkara ini memang luar biasa sehingga akan disidangkan segera diproses. Namun, hal itu semua balik lagi pada pemohon. Jika ingin cepat sebelum tanggal 1 September 2015 perbaikan permohonan sudah masuk ke MK.

“Kalau ingin cepat ya jangan ikuti waktu yang lama. Nanti kami akan bicarakan dalam RPH, semoga saja bisa dipercepat.Kita punya atensi juga yang sama karena kita inginkan pelaksanaan pilkada ini semua berjalan dengan baiklah,” katanya.
Tags:

Berita Terkait