Aturan Prapenuntutan Dipersoalkan ke MK
Utama

Aturan Prapenuntutan Dipersoalkan ke MK

Pengujian ini untuk memperkuat peran jaksa sebagai pengendali perkara pidana.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Aturan Prapenuntutan Dipersoalkan ke MK
Hukumonline
Sejumlah ketentuan prapenuntutan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dinilai semakin memperlemah peran penuntut umum. Praktiknya, dalam proses prapenuntutan seringkali timbul tindakan kesewenang-wenangan penyidik dan berlarut-larutnya penanganan tindak pidana dalam proses penyidikan.

Atas dasar itu, sejumlah lembaga dan warga negara mempersoalkan sejumlah pasal KUHAP terkait prosedur prapenuntutan ke MK. Para pemohon adalah Koordinator Masyarakat Pemantau Peradian Indonesia (MaPPI FHUI) Choky Ramadhan, Carolus Tuah, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto. Mereka mempersoalkan Pasal 14 huruf b, dan i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), serta Pasal 139 KUHAP terkait pemeriksaan berkas perkara dalam proses prapenuntutan.

“Uji materi pasal-pasal itu untuk memperkuat peran jaksa sebagai pengendali perkara pidana, mencegah potensi kesewenang-wenangan penyidik dan penanganan perkara berlarut-larut dalam proses prapenuntutan,” ujar salah satu pemohon, Choky Ramadhan usai mendaftarkan pengujian KUHAP ini di Mahkamah Konstitusi, Senin (5/10).

Choky menjelaskan Usman Hamid menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Sementara Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Namun, Andro mencabut keterangan Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.

Para pemohon meminta agar pasal-pasal itu ditafsirkan secara konstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 14 huruf b KUHAP menyebut kewenangan penuntut umum melakukan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikan. Aturan ini dianggap membatasi peran jaksa melakukan pemeriksaan tambahan.

“Kita minta frasa ‘apabila ada kekurangan’ dihapus, sehingga apabila tidak ada kekurangan, jaksa tetap bisa melakukan pemeriksaan tambahan. Dalam kasus Andro, jaksa membawa berkas yang tidak ‘matang’,” kata Choky mencontohkan.

Pasal 109 ayat (1) KUHAP menyebutkan setiap proses penyidikan, penyidik harus memberitahukan kepada penuntut umum. Namun, jangka waktunya tidak ditentukan secara jelas. “Kita minta pasal ini ditafsirkan dimulainya penyidikan wajib diberitahukan ke penuntut umum dalam jangka satu hari sejak dikeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Jika tidak, proses penyidikan batal demi hukum,” pintanya.

Menurutnya, hal ini agar jaksa lebih perhatian terhadap setiap perkara yang tengah disidik pihak kepolisian. Mekanisme ini juga sebagai kontrol (check and balance) bagi jaksa atas setiap penanganan perkara pidana sebelum dilimpahkan ke pengadilan. “Selama ini ketika ada perkara dihentikan (SP3) di kepolisian, jaksanya tidak tahu. Dengan adanya wajib pemberitahuan ini, jaksa bisa setiap saat melakukan kontrol perkara,” kata dia.

Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP juga diminta ditafsirkan konstitusional bersyarat sepanjang proses pengembalian berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum ditafsirkan hanya satu kali. Sedangkan Pasal 139 KUHAP terkait jangka waktu pengembalian kelengkapan berkas dari penyidik ke penuntut umum dimaknai maksimal selama 20 hari sebelum dilimpahkan ke pengadilan.

“Kata ‘segera’ dalam Pasal 139 KUHAP dimaknai tidak melebihi 20 hari sejak diterimanya SDPD. Ini mencegah terjadi bolak-balik berkas perkara yang berakibat penyelesaian perkara terkatung-katung, sehingga bagi setiap tersangka ada kepastian hukum, apakah perkaranya dilanjutkan atau dihentikan?”
Tags:

Berita Terkait