Buruh Usulkan PHI Diganti Komisi
Revisi UU PPHI:

Buruh Usulkan PHI Diganti Komisi

Komisi independen dengan kewenangan khusus yang kuat.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Buruh Usulkan PHI Diganti Komisi
Hukumonline
Serikat buruh yang hadir dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) panitia kerja (panja) RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Komisi IX DPR mengusulkan agar PHI dibubarkan dan diganti lembaga baru. Perwakilan buruh yang tergabung dalam Komisi Bubarkan PHI, Tri Wahyu Widodo, mengatakan buruh sering kalah ketika berperkara di pengadilan hubungan industrial.

Kekalahan buruh, kata Tri Wahyu Widodo, menunjukkan buruknya akses keadilan terhadap buruh di PHI. Akibatnya, buruh seringkali mencari keadilan lewat cara lain seperti melapor ke DPR, DPRD, Komnas HAM, atau melakukan demonstrasi massal.

Pria yang disapa Wiwid itu menjelaskan lewat UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, lembaga penyelesaian hubungan industrial diserahkan pada lembaga yang sifatnya yudikatif yaitu PHI. Sebelumnya, lembaga itu berada di ranah eksekutif yakni lewat panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D) dan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat (P4P). Konvensi ILO mengatur proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial mestinya dilakukan melalui eksekutif, bukan yudikatif.

Sayangnya, Wiwid melanjutkan, peran eksekutif dalam UU PPHI hanya ada pada mekanisme mediasi di Dinas Ketenagakerjaan. Selama ini proses mediasi itu formalitas belaka dan peran mediator pasif . Ketika mediator menerbitkan rekomendasi dan tidak dijalankan maka tidak ada tindakan yang dilakukan pemerintah. Ujungnya, rekomendasi yang diterbitkan mediator hanya digunakan sebagai “tiket” untuk mengajukan gugatan ke PHI.

Walau UU PPHI mengamanatkan dibentuk mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah, namun fakta yang terjadi selama ini sebaliknya. Wiwid mencatat prinsip-prinsip itu tidak berjalan dalam mekanisme PHI. Misalnya, proses tidak cepat karena penyelesaian perselisihan yang berlangsung mulai dari bipartit, mediasi, sidang di PHI, kasasi, peninjauan kembali (PK) sampai eksekusi butuh waktu 10 tahun.

Serta tidak murah karena biaya berperkara mulai dari mengajukan gugatan di PHI sampai eksekusi membutuhkan biaya besar. Misalnya, setiap bukti yang diajukan dalam persidangan di PHI harus dileges dengan materai Rp6 ribu per bukti. Keberadaan PHI di ibukota provinsi juga menyulitkan buruh yang lokasinya jauh, sehingga membutuhkan ongkos transportasi yang besar untuk menghadiri persidangan. Rata-rata setiap perkara yang disidangkan di PHI membutuhkan 8-15 kali sidang.

Putusan PHI menurut Wiwid juga tidak tepat karena hakim seringkali memutus tanpa merujuk UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Misalnya, dalam perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), seringkali hakim memutus PHK dengan alasan disharmonis. “Padahal dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada ketentuan yang menyatakan PHK bisa dilakukan dengan alasan disharmonis,” katanya dalam RDPU di ruang sidang Komisi IX di DPR, Rabu (07/10).

Wiwid mencatat ada 79 pasal atau 62,7 persen pasal dalam UU PPHI yang harus diganti. Peran negara untuk melindungi buruh sangat minim dalam UU PPHI. Ke depan, peran negara itu perlu ada, pemerintah harus hadir melindungi buruh. Proses penyelesaian sengketa ketenagakerjaan harus dilaksanakan secara adil, mudah, cepat dan tepat. Penyelesaian perselisihan itu harus mengedepankan musyawarah untuk mufakat dan perundingan kolektif. “Kami merekomendasikan PHI dibubarkan, diganti Komisi,” urainya.

Wiwid mengusulkan agar PHI diganti komisi independen seperti P4D dan P4P dengan kewenangan khusus yang kuat. Komisi itu diisi oleh majelis yang terdiri dari tiga perwakilan pemerintah, termasuk tenaga ahli atau akademisi, serta perwakilan pengusaha dan serikat buruh masing-masing satu orang. Komisi itu dibentuk di setiap daerah padat industri dan ibukota provinsi yang lokasinya mudah diakses buruh. Kemudian, komisi itu tidak mengurusi perselisihan hak, karena itu tidak dianggap sebagai obyek sengketa.

Perwakilan buruh Jawa Timur yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jatim Menggugat, Jazuli, berpendapat PHI menuntut buruh untuk mampu beracara seperti pengacara. Sebab, hukum acara yang digunakan PHI mengacu perdata. Akibatnya, buruh kesulitan untuk berperkara di PHI. Sekalipun bisa beracara, tidak jarang gugatannya ditolak atau tidak dapat diterima hakim.

Selain berbiaya mahal, dikatakan Jazuli, proses di PHI merugikan buruh karena putusannya sulit dieksekusi. Oleh karenanya ia menginginkan agar penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak dilakukan di pengadilan. Ia berharap lembaga itu kedudukannya langsung di bawah Presiden, dan dibentuk di setiap kabupaten/kota. Proses penyelesaian perselisihan harus dibuat sederhana yakni satu kali sidang dan besoknya putusan. Tidak ada biaya yang dikenakan terhadap buruh (gratis) dan gugatan diajukan oleh pemerintah ketika proses bipartit dan mediasi gagal.

Putusan lembaga baru itu menurut Jazuli tidak bisa jadi obyek pengadilan tata usaha negara (PTUN). Putusan yang dihasilkan final dan mengikat. Selain itu perlu ada mekanisme sidang angket karena bukti-bukti terkait ada di pihak pengusaha. Lewat mekanisme itu majelis yang menangani perkara aktif mencari bukti-bukti ke perusahaan. “Seluruh biaya harus gratis mulai dari gugatan sampai eksekusi,” ucapnya.

Selain itu Jazuli juga ingin agar diatur sanksi bagi pengusaha yang tidak menjalankan putusan. Sanksinya bisa berbentuk pidana dan administratif seperti tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Juga ada putusan sita jaminan, sehingga aset pengusaha bisa langsung dieksekusi untuk membayar hak-hak buruh. Menurut dia, selama ini buruh sering menghadapi kendala sekalipun menang tapi tidak bisa melakukan eksekusi karena aset-aset pengusaha diagunkan ke bank.

“Perombakan total UU PPHI ke depan harus melindungi buruh sepenuh hati, jangan setengah-setengah, tidak ada artinya jika nanti buruh menang hanya diatas kertas. Selama ini bagi buruh menang di PHI itu kalah,” tukasnya.

Perwakilan buruh Karawang dari Aliansi Buruh Karawang, Khamid Istakhori, mengklaim menolak UU PPHI sejak awal diterbitkan. Sebab ia yakin UU PPHI tidak akan mampu menghadirkan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang  cepat, tepat, adil dan murah.

Khamid berpendapat proses di PHI hanya menguntungkan pihak yang punya uang. Itu terbukti dari perkara buruh PT Onamba Indonesia, dimana ada transaksi antara pihak pengusaha dan hakim ad hoc PHI Bandung. Ujungnya, para pihak yang terjerat kasus korupsi itu ditangkap KPK, salah satunya hakim ad hoc PHI Bandung, Imas Dianasari.

Khamid menjelaskan dalam perkara itu pada tahap mediasi buruh PT Onamba Indonesia dipekerjakan kembali. Namun PHI memutus para buruh tidak mendapat pesangon. Menurutnya, transaksi antara pengusaha dan hakim ad hoc berpotensi besar terjadi pada perkara-perkara lainnya. “PHI layak dibubarkan karena tidak ada asas keadilan bagi buruh,” katanya.

UU PPHI menurut Khamid menumpulkan peran petugas pengawas ketenagakerjaan. Sebab perkara yang menyangkut hak-hak normatif buruh bisa diperselisihkan sampai PHI. Harusnya, pengawas berperan untuk menjatuhkan sanksi ketika hak-hak normatif buruh dilanggar.
Tags:

Berita Terkait