Akademisi dan Aktivis Adu Argumen Soal SE Hate Speech
Berita

Akademisi dan Aktivis Adu Argumen Soal SE Hate Speech

Akademisi mendukung keberadaan SE Hate Speech, tapi aktivis menyatakan sebaliknya.

FAT
Bacaan 2 Menit
Gandjar Laksmana (kiri) dan Putri Kanesia (kanan). Foto: Youtube (screenshot)
Gandjar Laksmana (kiri) dan Putri Kanesia (kanan). Foto: Youtube (screenshot)
Pro kontra seputar Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (SE Hate Speech) terus bergulir. Kali ini datang dari kalangan akademisi dan aktivis. Keduanya menilai berbeda mengenai keberadaan SE Hate Speech tersebut.

Sebagaimana disiarkan hukumpedia.com, akademisi dan aktivis tersebut mengeluarkan uneg-uneg-nya mengenai SE itu melalui rekaman video. Akademisi yang dimaksud adalah Ganjar Laksmana Bonaparte. Pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengapresiasi SE yang diterbitkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada akhir Oktober 2015 lalu itu.

Menurutnya, keberadaan SE tersebut merupakan bentuk jaminan dari Polri bagi aparatur di bawahnya dalam menindak masalah hukum terkait hate speech. Dalam SE itu, sudah jelas ada beberapa tindak pidana yang bisa dikaitkan dengan hate speech. “Justru lahirnya SE ini agar penerapan dilakukan secara hati-hati dan tidak melenceng dari ketentuan itu,” tutur Ganjar.

Penanganan hate speech, lanjut Ganjar, dalam SE juga tidak dilakukan sembarangan. Berawal dari cara komunikasi ke publik untuk menghindari potensi terjadinya konflik horizontal, hingga mengedepankan mediasi untuk tercapai perdamaian dalam konflik. Jika terjadi tindak pidana, maka SE membatasi pasal-pasal yang berkaitan dengan hate speech.

Untuk mendukung SE, Ganjar mengusulkan agar kepolisian, Mahkamah Agung (MA) dan kejaksaan membuat panduan mengenai pasal-pasal pidana yang berkaitan dengan hate speech. Hal ini diperlukan agar aparatur penegak hukum tidak bingung dalam menangani kasus tersebut.

Bukan hanya itu, aparat penegak hukum juga akan lebih hati-hati dalam menegakan hukum. “Ini juga salah satu upaya meminimalisasi perbedaan tafsir terhadap aturan UU. Kalau dikhawatirkan, khawatirkan norma UU-nya yang terlalu karet, SE ini malah membuat pembatasan agar tidak sekaret itu,” ujar Ganjar.

Hal sebaliknya diutarakan Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras, Putri Kanesia. Menurutnya, kebijakan kepolisian itu memiliki kelemahan, yakni pasal-pasal yang terkait dengan hate speech. Ia menilai, seharusnya pasal-pasal tindak pidana tersebut tidak ada kaitannya dengan hate speech.

“Jika berdasarkan kovenan hak sipil politik misalnya, hate speech harus memuat beberapa hal, niat dan isi atau konten dari hates speech itu sendiri, serta siapa yang berbicara,” tutur Putri.

Jika yang berbicara adalah orang biasa, maka tidak bisa dikategorikan sebagai hate speech. Namun, jika yang berbicara adalah tokoh, seperti presiden atau orang-orang yang memiliki pengaruh, baru bisa masuk kategori hate speech. Menurutnya, jika orang biasa yang berbicara masuk kategori hate speech, maka bisa muncul tindakan kriminalisasi oleh aparat penegak hukum karena salah pengertian.

Selain itu, SE Hate Speech juga berpotensi terbungkamnya kebebasan berpendapat masyarakat. Hal ini karena masyarakat takut dikriminalisasi jika mengeluarkan pendapatnya. “Akan jadi kehilangan dari marwah hate speech itu sendiri jika Kapolri masih masukkan pasal atau UU yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan hate speech,” pungkasnya.

Untuk diketahui, beberapa tindak pidana yang masuk dalam bentuk ujaran kebencian di SE ini adalah, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong. Jika ingin tahu lebih detail apa yang diutarakan Ganjar dan Putri, silakan kunjungi hukumpedia.com.
Tags: