Ini Tantangan yang Dihadapi Daerah dalam Mengelola Dana Desa
Berita

Ini Tantangan yang Dihadapi Daerah dalam Mengelola Dana Desa

Daerah semestinya melakukan reformasi anggaran.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ini tantangan dalam mengelola dana desa. Foto: NNP
Ini tantangan dalam mengelola dana desa. Foto: NNP
Ada dua fokus bagi desa pasca berlakunya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Keduanya adalah reformasi anggaran dan reformasi politik. Dari dua fokus itu, salah satunya dianggap lebih mudah dilakukan. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robertus Na Endi Jaweng mengatakan, kalau desa mesti fokus untuk melakukan reformasi anggaran.

“Apakah kita akan mereformasi politik atau reformasi anggaran? Reformasi politik itu sulit. Maka kemudian reformasi pada sisi birokrasi. Ini sesuatu yang perlu kita cermati. Melihat profil anggaran sekarang, semakin banyak dana mengalir dari pusat ke daerah, desentralisasi semakin kuat,” ujar Endi, dalam suatu diskusi di Jakarta, Senin (21/12).

Lebih lanjut, Endi menuturkan, kalau desa mesti didorong untuk melaksanakan reformasi anggaran pasca dikucurkan dana dari pusat. Menurutnya, tantangan saat ini yang dihadapi oleh daerah adalah bukan lagi soal bagaimana membawa uang dari pusat ke daerah. Melainkan soal bagaimana mengelola uang yang sudah berada di daerah.

Tantangannya lebih kepada pengelolaan uang secara akuntabel dan efektif. Pengelolaan seperti ini sejalan dengan program Nawacita Prioritas Presiden Joko Widodo dalam membangun daerah dari pinggir melalui penguatan daerah/desa. Oleh karena itu, desa mesti melakukan perbaikan-perbaikan dalam rangka mendukung reformasi anggaran tersebut.

Untuk itu, Endi mengusulkan, ke depan pemerintah daerah wajib menerapkan sistem penganggaran yang berbasis tekonologi informasi atau IT. Hal ini dipercaya bisa membantu daerah untuk mensinkronkan perencanaan anggaran dengan pelaksanaan anggaran di daerah. Namun, sistem anggaran yang berbasis IT itu masih sekedar efisiensi proses penganggaran semata.

Menurutnya, budgeting yang berbasis IT, sebetulnya belum bisa menjadi solusi untuk pemerintah daerah dalam rangka membuka transparansi anggaran kepada masyarakat daerah. Ia mengatakan keterbukaan anggaran ke masyarakat merupakan salah satu bentuk reformasi anggaran yang wajib didorong sejak awal.

“Ini reformasi pada tahap penganggaran. Rakyat punya akses, itu yang penting untuk bisa menilai dan kontrol. Selama ini yang terjadi adalah tidak jelas ke mana anggarannya,” katanya.

Selain itu, lanjut Endi, mesti didorong lewat basis kepemimpinan yang kuat serta inovatif. Basis kepemimpinan tersebut juga harus diikuti dengan pembangunan sistem. Ia percaya, basis kepemimpinan yang kuat wajib ditopang dengan pembangunan sistem yang baik. “Kalau tidak dibangun sistem ini akan menguap,” sebutnya.

Meski begitu, reformasi anggaran seperti ini masih memiliki sejumlah kendala. Pertama, faktor teknokratik di pemerintahan. Pada fase ini, kendala yang dihadapi biasanya berupa tidak terintegrasinya reformasi yang dilakukan antar SKPD dalam Pemda yang sama. Diskoneksi antar SKPD itu jadi faktor yang cukup menghambat proses reformasi anggaran di desa.

Kendala lainnya adalah terkait dengan peran DPRD pada tahap perencanaan hingga penganggaran. Praktik yang biasa terjadi, pemerintah seringkali terhambat saat melakukan penyelesaian anggaran karena DPRD punya peran yang sangat krusial. Ke depan, kata Endi, semestinya DPRD mesti lebih aktif melakukan pembahasan mulai tahap perencanaan dan bukan justru di tahap penganggaran.

“DPRD punya peran krusial tapi cenderung negatif. DPRD malas bergerak di bidang perencaaan. Tapi saat RKPD selesai, itu intervensi mulai masuk. Sehingga banyak daerah yang terlambat menuntaskan APBD salah satunya di sini karena memang intervensi DPRD datang, tapi terlalu di belakang dan terlambat,” ujarnya.

Selain kendala itu, Endi juga melihat ada yang masih kurang dari pemerintah daerah dalam mengelola anggaran di desa. Misalnya, proporsi belanja yang lebih banyak digunakan untuk belanja operasional daerah dibandingkan belanja modal. Lalu mengenai penyerapan dan kualitas laporan yang masih kurang baik.

Hal serupa diutarakan Bupati Batang, Jawa Tengah, Yoyok Riyo Sudibyo. Menurutnya basis kepemimpinan yang kuat memang sangat dibutuhkan. Selain itu, pembangunan sistem juga menjadi hal yang penting. Alasannya karena daerah yang ‘ditinggal’ pemimpin tertentu akan punya ketergantungan dengan sosok. Berbeda ketika lewat sistem, hal itu bisa tetap dilanjutkan meski sosok pemimpin telah tidak lagi menjabat di daerah itu. “Pembangunan sistem menjadi salah satu tugas kepala daerah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait