Banyak Peraturan, Tapi Norma Hukumnya Tak Sinkron
Kejahatan Korporasi:

Banyak Peraturan, Tapi Norma Hukumnya Tak Sinkron

Dalam praktek peradilan di Indonesia, masih sedikit korporasi yang dijadikan terdakwa. Ada problem dalam legislasi.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Prof Topo Santoso (paling kiri) dalam acara seminar di FH Universitas Pancasila, Senin (21/12). Foto: MYS
Prof Topo Santoso (paling kiri) dalam acara seminar di FH Universitas Pancasila, Senin (21/12). Foto: MYS
Profesor Topo Santoso, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, merasa perlu menceritakan kembali ‘petuah’ Edwin H. Sutherland (1940), ilmuan yang memperkenalkan istilah whitecollar crime melalui jurnal American Sociological Review. Menurut Sutherland, dampak yang ditimbulkan kejahatan yang dilakukan korporasi jauh lebih dahsyat dibanding yang dilakukan orang perorang secara konvensional.

Sayang, orang lebih menaruh perhatian pada kejahatan yang dilakukan pribadi orang seperti pembunuhan, perampokan, dan penipuan. Padahal jika kejahatan itu dilakukan korporasi, dampaknya luar biasa. Berkaca dari kasus-kasus yang terjadi di dunia, seperti Parmalat, Italia (2003), Bre-X Kanada (1989-2002), dan Enron Amerika Serikat (2001), ada ciri khas yang memperlihatkan dampak dimaksud. Topo menyebut korban kejahatan yang dilakukan korporasi bisa ribuan berupa kehilangan tabungan, pensiun atau rumah; dan melibatkan kalkulasi. “Tindakan yang direncanakan itu diketahui pelaku sebagai tindakan ilegal,” jelas Topo saat menjadi pembicara seminar nasional ‘Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang’ di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Senin (21/12) lalu.

Jika dampaknya lebih dahsyat, maka seharusnya perhatian aparat penegak hukum terhadap kejahatan korporasi lebih intensif. “Orang yang berniat jahat bisa berlindung di balik korporasi,” kata Profesor Ade Saptomo, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

Sayangnya, kejahatan yang dilakukan korporasi masih sedikit yang diproses hingga ke pengadilan. Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Widyo Pramono, juga tak menampik minimnya kasus yang masuk proses penuntutan jaksa. Sekadar menyebut contoh adalah kasus IM2 (Indosat). “Masih sedikit yang masuk,” kata Widyo di acara yang sama.

Jumlah perkara yang masuk tak sebanding dengan ‘jerat’ yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Widyo menyebut ada sekitar 70-an undang-undang yang mengatur dan mengancam pidana korporasi. Dengan kata lain, puluhan undang-undang memuat pertanggungjawaban pidana korporasi.

Masalahnya, peraturan perundang-undangan itu tak seragam mengatur tentang siapa yang bisa dimintai tanggungjawab. Sebagian menyebut korporasi sebagai subjek tindak pidana tetapi yang dimintai tanggung jawab hanya pengurus. Konsep ini bisa ditemukan antara lain dalam UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajid Daftar Perusahaan dan UU No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api.

Sebagian lagi mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsep pertanggungjawaban pidana ini antara lain dikenal dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Banyaknya peraturan ini juga membuat beda panfsiran di lapangan. Misalnya tentang hubungan tindak pidana pencucian uang dengan kejahatan asal (predicate crime). Ada yang misalnya menginginkan kejahatan asal dibuktikan lebih dahulu baru kejahatan pencucian uang. Ada yang menyidik pidana pencucian uang lebih dahulu dan memisahkan dengan pidana asal. Dalam prakteknya, hakim di Pengadilan Tipikor pun berbeda pandang. Ada hakim yang dalam pertimbangan menyebut KPK tidak punya wewenang menangani pidana pencucian yang, meskipun sebagian besar berpendapat sebaliknya.

Perbedaan pandangan ini seharusnya tak perlu menjadi kendala. “Itu hanya soal cara,” kata Kombes (Pol) Agung Setia, Wakil Direktur Reskrim Khusus Bareskrim Mabes Polri.

Belum adanya pola aturan pemidanaan korporasi yang seragam dan konsisten bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama, kapan korporasi melakukan tindak pidana dan kapan dapat dipertanggungjawabankan. Faktanya, ada undang-undang yang merumuskan, ada pula yang tidak. Kedua, siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, jenis sanksi. Ada yang pidana pokok plus pidana tambahan, ada yang diperberat, ada yang ditambah tindakan tata tertib, dan ada pula denda yang sama dengan pidana pokok. Keempat, mengenai perumusan sanksi, ada yang merumuskan secara alternatif, ada pula yang kumulatif, bahkan ada yang gabungan (kumulatif alternatif).

Topo juga meminta aparat penegak hukum tidak terlalu memperdebatkan perbedaan konsep tersebut karena justru menghalangi upaya pengembalian aset. Apalagi korporasi besar biasanya punya sumber daya yang hebat dan bisa menyewa lawyer bonafid untuk melawan argumentasi aparat penegak hukum. “Kita jangan terjebak memperdebatkan konsep, nanti tidak kembali asetnya,” ujar Dekan FH Universitas Indonesia itu.
Tags:

Berita Terkait