147 Perkara, 1.040 Pengacara
Lawyer Pilkada 2015:

147 Perkara, 1.040 Pengacara

Peraturan Mahkamah Konstitusi tak mewajibkan penggunaan advokat saat bersidang. Faktanya, sebagian besar perkara sengketa pilkada 2015 menggunakan jasa advokat.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Suasana di luar sidang sengketa pilkada di gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Suasana di luar sidang sengketa pilkada di gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Kesibukan M. Fadli Nasution bertambah sebulan belakangan. Ia harus bolak balik dari kantornya, Lubis Nasution & Partners di bilangan Cikini ke gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat Jakarta. Kadang ia ia harus mengikuti sidang sampai sore. Kesibukan pengacara muda itu tak lepas dari perkara yang ditangani di gedung Mahkamah Konstitusi.

Para pengacara dari lawoffice Lubis Nasution & Partners menjadi kuasa hukum dalam sengketa pilkada di Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara dan empat daerah lain. “Kami dipercaya untuk mewakili Pemohon dalam sengketa pilkada Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Halmahera Barat, dan Kabupaten Banggai. Sementara sebagai Termohon KPU Kabupaten Tanah Laut dan  sebagai Pihak Terkait di Kabupaten Pandeglang,” jelas Fadli kepada hukumonline.

Fadli hanya satu dari banyak perkara yang berkiprah dalam penyelesaian sengketa pilkada 2015 di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan penelusuran hukumonline, setidaknya ada 1.040 advokat mendapatkan surat kuasa dari pasangan calon kepala daerah yang mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Konstitusi. Jumlah itu dihitung hanya berdasarkan nama-nama yang tertera dalam permohonan dan perbaikan 147 permohonan yang salinannya bisa diakses di laman Mahkamah Konstitusi. Sebagian permohonan itu belakangan dicabut.

Jumlah pengacara yang mendapatkan kuasa bisa bertambah jika dihitung dari nama-nama yang dituliskan dalam permohonan awal. Bisa juga bertambah karena ada perkara yang menunjuk satu pengacara dengan hak substitusi. Pengacara yang ditunjuk sangat mungkin menunjuk pengacara lain untuk menangani.

Tetapi jika dihitung berdasarkan orangnya (person), jumlah pengacara yang mendapat kuasa tak sampai 1.040 karena faktanya ada satu pengacara yang mendapatkan surat kuasa dalam beberapa perkara sekaligus. Nama advokat Sirra Prayuna,  misalnya, selalu muncul di perkara-perkara yang diadvokasi Badan Bantuan Hukum dan Advokasi (BBHA) Pusat PDI Perjuangan. Demikian pula nama Taufik Basari dalam sejumlah perkara yang diadvokasi Badan Advokasi Hukum (BAHU) Partai Nasdem.

Jumlah pasti pengacara yang terlibat  juga bisa berubah karena angka 1.040 itu belum memperhitungkan advokat yang mendapat kuasa dan mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU selalu menjadi pihak yang ‘digugat’ atau sebagai termohon dalam permohonan penyelesaian sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau dalam perubahannya, PMK No. 5 Tahun 2015, tidak ada kalimat yang eksplisit mengharuskan para pihak menggunakan advokat saat beracara di sidang-sidang sengketa pilkada 2015. Namun keberadaan advokat tetap diakomodasi. Pasal 7 PMK No. 5 Tahun 2015 hanya menyebutkan permohonan pemohon minimal harus memuat identitas lengkap pemohon, antara lain nama dan alamat pemohon dan/atau kuasa hukumnya.

Lebih jelas lagi dalam Pasal 3 PMK No. 1 Tahun 2015. Disebutkan dalam pasal ini bahwa pemohon, termohon, dan pihak terkait ‘dapat diwakili dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya yang mendapat surat kuasa khusus dan/atau surat keterangan untuk itu’.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap salinan permohonan, tidak semua nama yang dimuat di halaman belakang permohonan membubuhkan tanda tangan. Ada yang namanya tertera di bagian awal permohonan, tetapi pada bagian akhir permohonan yang dibubuhi meterai, ada nama penerima kuasa yang hilang.

Dari 147 permohonan penyelesaian sengketa Pilkada 2015 tak semua pihak menggunakan jasa pengacara. Ada juga permohonan yang diajukan langsung oleh pasangan kandidat, meskipun tak tertutup kemungkinan dalam proses lanjutan pasangan tersebut menunjuk kuasa hukum. Beberapa berkas permohonan awal yang diunggah ke lamah Mahkamah Konstitusi masih menggunakan tulisan tangan. Pengajuan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitusi memang terikat pada waktu yang sangat singkat sehingga para pihak tak punya banyak waktu panjang menyiapkan permohonan dengan segala alat buktinya.

Beragam gaya dan pandangan advokat memperjuangkan kliennya. Bagi mereka yang sudah biasa beracara di Mahkamah Konstitusi, mereka akan memahami mekanisme dan apa saja yang dibutuhkan. Soal pemakaian toga bagi advokat, misalnya. Gara-gara urusan toga itu, advokat Darisalim Telaumbanua sempat ditegur majelis hakim saat sidang awal. Darisalim menjadi kuasa hukum salah satu pihak dalam sengketa pilkada Kabupaten Gunung Sitoli, Sumatera Utara.

Bagi Fadli, beracara di Mahkamah Konstitusi tak bisa dianggap biasa-biasa saja. Sidang-sidang di sini umumnya tepat waktu, mengajukan perkara tanpa membayar, dan basisnya adalah adu argumentasi hukum yang kuat. “Diperlukan pengetahuan dan keahlian khusus dalam menghadapi persidangan di Mahkamah Konstitusi,” kata advokat yang juga Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia itu.
Tags:

Berita Terkait