Tak Penuhi Selisih Suara, MK Kandaskan 26 Sengketa Pilkada
Berita

Tak Penuhi Selisih Suara, MK Kandaskan 26 Sengketa Pilkada

MK dianggap tersandera oleh putusannya sendiri terkait berlakunya Pasal 158 UU Pilkada.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MK Menggelar sidang lanjutan dengan agenda putusan sela, Kamis (21/1). Foto: RES
MK Menggelar sidang lanjutan dengan agenda putusan sela, Kamis (21/1). Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membacakan putusan sela 26 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam sidang pleno yang dihadiri seluruh hakim konstitusi, MK menyatakan 26 permohonan sengketa Pilkada tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard/NO). Dalam putusannya, Mahkamah beralasan 26 permohonan ini dianggap tidak memiliki legal standing khususnya tidak memenuhi selisih suara maksimal 2 persen sebagai syarat menggugat hasil pilkada.

“Pemohon  tidak  memiliki kedudukan hukum (legal standing) mengajukan permohonan a quo. Pokok permohonan Pemohon serta eksepsi lain dari Termohon dan Pihak Terkait tidak dipertimbangkan,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan kesimpulan putusan sela di ruang sidang pleno MK, Kamis (21/1).

Putusan sela ini merupakan sidang tahap ketiga dalam sidang perselisihan hasil Pilkada untuk memeriksa dan mengadili aspek formalitas permohonan. Sidang tahap ini meliputi aspek kewenangan MK, tenggat waktu, legal standingtermasuk syarat Pasal 158 UU Pilkada.Sebelumnya, Senin (18/1) kemarin, MK mengabulkan penarikan kembali 5 permohonan dan 35 permohonan dinyatakan tidak dapat diterima. Alasannya, pengajuan 34 permohonan telah melewati tenggang waktu selama 3 x 24 jam.

Intinya, pertimbangan tidak diterimanya 26 permohonan ini seragam, yakni tidak memenuhi syarat selisih suara maksimal 2 persen sebagai syarat menggugat hasil pilkada seperti ditentukan Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) jo Pasal 6 Peraturan MK No. 1-5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada. Artinya, 26 permohonan sengketa pilkada melebihi syarat selisih suara diatas 2 persen.

“Meskipun Pemohon benar Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, akan tetapi permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK  1–5 Tahun 2015. Karena itu, eksepsi Termohon dan eksepsi Pihak  Terkait berkenaan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon adalah beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan permohonan Kabupaten Rejang Lebong.

Menurut Mahkamah syarat pengajuan permohonan yang ditentukan Pasal 158 UU 8 Tahun 2015  dan  Pasal 6 PMK  1–5 Tahun 2015 mengacu pada putusan MK No. 51/PUUXIII/2015 tanggal 9 Juli 2015. Pertimbangan putusan itu menyebutkan pembatasan bagi peserta pilkada mengajukan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dalam Pasal 158 UU Pilkada merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk UU. Pembatasan ini dianggap logis dan dapat diterima secara hukum untuk mengukur signifikansi perolehan suara calon.

“Syarat pengajuan permohonan dalam Pasal 158 UU Pilkada berlaku bagi siapapun ketika mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dalam pilkada,” ucap Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna saat membacakan pertimbangan putusan No. 79/PHP.BUP-XIV/2016 yang dimohonkan calon Bupati Malang, Dewanti Rumpoko-Masrifah Hadi.

Selain itu, Mahkamah menambahkan jika dipaksa-paksa mengabaikan atau mengesampingkan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 Peraturan MK No. 15 Tahun 2015 sama halnya mendorong Mahkamah melanggar UU. Hal ini tidak boleh terjadi karena selain bertentangan dengan prinsip negara hukum Indonesia, juga menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan dan melanggar sumpah jabatan tentang kode etik hakim konstitusi.

“Tidak berarti Mahkamah corong UU belaka. Kompetisi dan kontestasi politik dibutuhkan terlebih dahulu aturan main agar terjamin kepastiannya. Ibarat pertandingan olahraga, aturan main ditentukan sebelum pertandingan dimulai dan telah diketahui oleh seluruh pemain. Sementara Wasit harus tunduk pada aturan main tersebut.”

Permohonan yang dinyatakan tidak diterima antara lain permohonan perselisihan hasil Pikada Kabupaten Ogan Ilir, Barru, Halmahera Barat, Malang, Nias Selatan, Humbang Hasundutan, Labuanbatu, Cianjur, Samosir, Rejang Lebong, Pandeglang, Batanghari, Bungo, Kota Bandar Lampung.

Kuasa hukum pasangan Tigor Panusunan Siregar dan Eri Atrada Eritonga, pemohon sengketa pilkada kabupaten Labuanbatu, Ilham Prasetio Gultom mengaku kecewa dengan putusan sela ini karena pokok permohonan tidak dipertimbangkan. “Kami kecewa karena dalil-dalil yang kami ajukan tidak dibacakan hakim. Padahal, selisih suara Labuhanbatu hanya 350 suara atau versi penghitunagn KPUD hanya selisih 7 persen dengan pemenang pilkada Kabupaten Labuhanbatu,” kata Ilham di gedung MK.

Menurutnya,  putusan MK ini tetap akan menjadi persoalan dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2017. Nantinya ada kecenderungan semua peserta pilkada akan melakukan upaya kecurangan semaksimal mungkin yang penting selisih diatas 2 persen. Artinya potensi kecurangan dalam penyelenggaran akan semakin terbuka. “Akhirnya semua kongklusi putusan sama saja dengan perkara yang lain. Hari ini banyak gerakan dari kawan-kawan lain untuk mengkaji putusan MK ini lebih dalam. Kita khawatirkan pada Pilkada Serentak 2017 itu bakal terjadi lagi seperti ini,” katanya.

MK Tersandera
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Peludem) Titi Anggraini menilai Majelis MK tersandera oleh putusannya sendiri. Sebab, MK telah memutuskan Pasal 158 UU Pilkada sebagai open legal policy pembentuk UU. “Putusan MK No. 51/PUUXIII/2015 yang menyebutkan persentase selisih sebagai open legal policy, membuat MK tidak bisa ke mana-mana dan harus menjalankan Pasal 158 UU Pilkada,” ujar Titi saat ditemui di gedung MK, Kamis (21/1).

Dengan begitu, kata Titi, MK mau tidak mau harus konsisten menjalankan Putusan MK No. 51 itu demi terwujudnya kepastian hukum walaupun mengabaikan aspek keadilan dalam pelaksanaan  pilkada. “Pertanyaannya, apakah kita layak menerima konsekuensi putusan MK itu sebagai wujud kepastian hukum? Padahal MK telah membuat tafsir persentase selisih suara dalam Peraturan MK No. 5 Tahun 2015 dianggap banyak pihak salah kaprah. Soalnya, semakin mempersulit pemohon mengajukan permohonan ke MK,” kata Titi.

Menurutnya, MK menggunakan logika bahwa hasil pilkada itu tercipta dari sebuah proses yang luber, jurdil, demokratis dan pengaruh atas hasil hanya boleh dalam persentase tertentu. Namun, MK tidak berlogika sebaliknya, bahwa potensi masuk angin dan curang selalu ada kemungkinan terjadi dalam penyelenggaraan tahapan pilkada.

“Mestinya hukum itu futuristik, berdiri di atas semua kondisi dan situasi. Bukan sudah pada positioning atau menempatkan keyakinan bahwa Pilkada pasti berjalan luber dan demokratis,” katanya.
Tags: