Sisi Puitis Seorang Todung Mulya Lubis
Berita

Sisi Puitis Seorang Todung Mulya Lubis

Tak melulu puisi berbau politik dan hukum, Todung juga menuliskan puisi yang berkisah tentang cinta dan kesepian.

RIA
Bacaan 2 Menit
Todung Mulya Lubis. Foto: RES
Todung Mulya Lubis. Foto: RES
Siapa yang tak kenal pengacara kondang Todung Mulya Lubis. Namanya sering kali menjadi headline dalam berita-berita nasional. Puluhan tahun berkarir, pria asal Medan ini dikenal pula sebagai pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai akademisi, ia juga pernah dicalonkan sebagai Hakim Konstitusi.

Namun di samping itu semua, mungkin masih sedikit yang tahu bahwa Todung merupakan seorang seniman. Dua kali Todung menerbitkan antologi puisi karangannya. Dua buku kumpulan puisi tersebut berjudul in a hallway yang diterbitkan pada tahun 1968, dan restless hours diterbitkan pada tahun 1999.

Usut punya usut, menulis puisi ternyata memang sudah menjadi hobi Todung sejak ia duduk di bangku SMA. Dan jangan pikir melulu soal hukum atau politik  yang menjadi materi puisinya, ia pun menuliskan kisah tentang cinta dan kesepian.

“Saya itu suka berpuisi sejak saya SMA. Awalnya ya karena saya memang suka membaca buku-buku sastra, prosa, maupun puisi ya, kemudian saya juga berteman dengan teman-teman seniman di Medan. Nah itu yang membuat saya ikut menulis puisi,” cerita Todung ditemui di sela-sela Malam Penganugerahan Yap Thiam Hien Award, Rabu (20/1).

Berangkat dari ikut-ikutan, Todung pun kecanduan. Ia mulai menyukai dan menikmati saat-saat ia menulis puisi. Karena dengan berpuisi, ia dapat menyampaikan sesuatu yang menurutnya tidak selalu dapat disampaikan melalui lisan.

“Saya pelan-pelan melatih kemampuan poetic (menulis puisi, red) saya dan ya akhirnya itu berhasil dimuat di media Medan, di Majalah Horison, di majalah-majalah sastra, dan sebagainya,” kata Todung.

Atas pencapaian tersebut, Todung mengaku senang. Ia bahkan sempat ingin menekuni profesi penyair. Pendiri Lubis Santosa Maramis Law Firm ini yakin bahwa dirinya mampu. Apalagi kalau dilihat-lihat, banyak penyair terkenal dari angkatannya seperti Sutardji Calzoum Bahri dan Abdul Hadi WM, sebut Todung.

Namun sayang, keinginannya yang satu itu harus kandas. “Saya on and off nulis puisinya ya. Kadang-kadang kalau sedang ada mood saya sih nulis, tapi akhirnya saya menyimpulkan saya ini memang seorang penyair yang gagal,” sebut Todung.

Pria kelahiran Tapanuli Selatan, 4 Juli 1949 ini melabeli dirinya dengan label tersebut karena menurutnya penyair yang berhasil adalah penyair yang bisa menerbitkan banyak buku kumpulan puisi. Hal itu yang tak bisa Todung lakukan. Di tambah lagi dengan kesibukannya sekarang.

“Saya ngga menulis lagi karena memang ngga ada waktu untuk menulis. Menulis itu ternyata juga butuh ketekunan, keterlibatan, intensitas. Nah itu yang saya ngga miliki. Sehingga saya pikir ah hidup saya sendiri udah puisi kok. Jadi yaudahlah saya nikmatin aja,” tutur peraih gelar Profesor dari University of Melbourne ini.

Meskipun begitu, kecintaan Todung kepada puisi, prosa, dan sastra belum sepenuhnya hilang. DSetiap hari Minggu ia pasti masih mencari kolom puisi di sebuah koran nasional. Sebab menurutnya seni memberikan inspirasi, memberi jawaban spiritual dan humanis, serta dapat melepas ketegangan.

Keinginan untuk menulis lagi pun belum padam. “Setiap membaca puisi Minggu di Kompas, saya mikir kapan saya bisa nulis lagi?” pungkas Todung.
Tags:

Berita Terkait