Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris Dinilai Belum ‘Aman’
Berita

Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris Dinilai Belum ‘Aman’

Frasa ‘dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris’ masih terbuka lebar untuk digugat kembali oleh siapapun ke Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Habib Adjie (kiri) dan Zul Fadli (kanan) dalam acara bedah buku yang digelar oleh Lingkar Kenotariatan di Jakarta. Foto: NNP
Habib Adjie (kiri) dan Zul Fadli (kanan) dalam acara bedah buku yang digelar oleh Lingkar Kenotariatan di Jakarta. Foto: NNP
Ada kekhawatiran nasib Majelis Kehormatan Notaris (MKN) akan sama dengan nasib Majelis Pengawas Daerah (MPD). Kekhawatiran itu muncul lantaran terbuka lebar peluang keberadaan MKN dalam Pasal 66 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) dalam UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itulah yang dikhawatirkan oleh Notaris dari Muaro Jambi, Zul Fadli.  

“Jadi ada kemungkinan ada pihak yang mengajukan judicial review ke MK,” ujar Fadli dalam acara bedah buku “Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai UU Jabatan Notaris” yang digelar oleh Lingkar Kenotariatan di Jakarta, Rabu (2/2).

Menurut Fadli, peluang keberadaan MKN terbuka untuk kembali ‘dipermasalahkan’ di MK lantaran gugatan uji materi sebelumnya yang mempertentangkan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris’ dalam Pasal 66 ayat (1) dan keseluruhan klausul dalam Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat diterima (NO/Niet Ontvankelijke Verklaard) oleh MK.

Ketika itu MK dalam Putusan Nomor 72/PUU-XII/2014 beralasan tidak melihat adanya kerugian pemohon baik secara nyata maupun potensial dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian. Advokat Tomson Situmeang, selaku pemohon dinilai tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut. Sehingga, MK tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan tersebut.

“Maka dari itu, jika suatu saat nanti ada pihak-pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dan memenuhi syarat kedudukan hukum. Bukan tidak mungkin MKN akan bernasib sama dengan MPD,” tambah Fadli yang juga founder dari Lingkar Kenotariatan

Kekhawatiran Fadli cukup kuat lantaran ada satu pertimbangan lain yang membuat keberadaan MKN berpotensi kembali ‘dihilangkan’ MK. Berkaca dari kesuksesan permohonan uji materi advokat Tomson Situmeang selaku kuasa hukum pemohon, Kant Kamal dalam Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012 yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004 terkait dengan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah’.

Lanjut Fadli, ia khawatir frasa ‘dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris’ dalam UU Nomor 2 Tahun 2014 akan dihilangkan MK seperti frasa ‘dengan persetujuan Majlelis Pengawas Daerah’ dalam UU Nomor 30 Tahun 2004. Sebab, dari putusan itu menunjukkan bahwa MK menilai keharusan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. “Bisa saja nasibnya nanti akan sama dengan MKD,” tukasnya.

Di tempat yang sama, Notaris dan PPAT Kota Surabaya Habib Adjie juga punya pandangan yang sama dengan Fadli. Ia juga melihat adanya potensi gugatan terhadap keberadaan MKN lewat uji materi di MK. Terlepas dari hal itu, Habib sendiri juga punya perspektif lain ketika menyoroti keberadaan MKN terutama terkait dengan MKN Wilayah. Menurutnya, ada hal yang lebih penting bagi notaris terkait dengan keberadaan MKN Wilayah ini.

“Di satu sisi saya apresiasi keberdaan MKN. Tetapi di sisi lain, saya mengkritisi tentang keberadaan MKN Wilayah,” ujar Habib.

Pasal 23 ayat (4) Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016 menyebutkan bahwa Ketua MKN Wilayah wajib memberikan jawaban berupa persetujuan atau penolakan terhadap permohonan pengambilan akta atau protokol notaris dan pemanggilan notaris paling lama 30 hari sejak diterimanya permohonan. Dikatakan Habib, ia khawatir jika nantinya anggota MKN Wilayah yang dipilih ternyata berasal dari orang yang punya kesibukan luar biasa.

Sebab, lanjutnya, terhadap jawaban yang diberikan MKN Wilayah baik memberi persetujuan atau penolakan tidaklah dapat diganggu gugat (final and binding). Padahal, Pasal 23 ayat (5) menyatakan bahwa jika jangka waktu 30 hari terlampaui, dianggap MKN Wilayah menerima permintaan persetujuan pemeriksaan terhadap notaris. “Saya khawatir MKN Wilayah itu sibuk ketika harus memutus 30 hari putusan itu. Sebab, putusan MKN itu final dan binding,” tandasnya.

Untuk diketahui, pada 5 Februari 2016 lalu, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris. Dengan aturan itu, semakin diperjelas mekanisme terkait dengan pemanggilan notaris oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan atas pengambilan fotokopi minuta akta atau protokol notaris.  

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM juga mengklaim Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016 telah ditunggu-tunggu terutama oleh rekan notaris. Bahkan Memkumham Yasonna H Laoly juga telah melantik tujuh orang anggota MKN Pusat pada Rabu tanggal 24 Februari 2016 yang lalu. Sementara, untuk MKN Wilayah sendiri hingga berita ini diturunkan masih belum ditetapkan dan ditentukan kompisisi anggotanya.
Tags:

Berita Terkait