RUU PPILN Adopsi Konvensi PBB 1990
Berita

RUU PPILN Adopsi Konvensi PBB 1990

Pemerintah mendukung.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Aktivis Migrant Care menggelar aksi unjuk rasa terkait perlindungan TKI di luar negeri. Foto: SGP
Aktivis Migrant Care menggelar aksi unjuk rasa terkait perlindungan TKI di luar negeri. Foto: SGP

Prinsip-prinsip dasar Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya akan dimasukkan ke dalam RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PIPLN). Adopsi ketentuan Konvensi PBB sudah lama diusulkan oleh lembaga advokasi pekerja migrant.

Pemerintah juga setuju gagasan itu. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengingatkan Konvensi PBB itu telah diratifikasi lewat UU No. 6 Tahun 2012. Setelah diratifikasi, konvensi itu mewajibkan negara pihak untuk membentuk UU implementasinya.

Mengacu amanat konvensi itu sekaligus mengganti  UU No. 39 Tahun 2004 pemerintah dan DPR sepakat untuk menindaklanjutinya dalam RUU PPILN. Dengan begitu pemerintah dan DPR tidak perlu membentuk dua UU. “Jadi nanti kita hanya membentuk satu undang-undang saja yakni RUU PPILN yang isinya tertuang norma-norma utama konvensi PBB 1990 sekaligus merevisi UU PPTKILN,” kata Iqbal dalam diskusi yang digelar Migrant Care di Jakarta, Senin (07/3).

DPR dan pemerintah saat ini sedang mengkaji ketentuan-ketentuan Konvensi PBB Tahun 1990 yang perlu diadopsi dalam RUU PPILN. Iqbal menjelaskan dalam konvensi itu ada norma-norma yang harus diadopsi oleh negara pengirim dan negara penerima buruh migran. Secara umum norma yang ada lebih banyak ditujukan untuk negara penerima agar memberi perlindungan terhadap buruh migran.

Dengan mengadopsi konvensi itu Iqbal yakin RUU PPILN akan jauh berbeda dengan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN). Banyak pihak yang mengkritik UU PPTKILN dan menilai tidak berbasis HAM. Ia berharap di pasal-pasal awal RUU PPILN menjelaskan secara rinci hak-hak buruh migran. Pasal berikutnya menguraikan secara jelas apa saja kewajiban negara. Jika paradigma HAM itu sudah tertuang di awal diharapkan pasal-pasal selanjutnya bisa merefleksikan paradigma tersebut.

Jika norma konvensi sudah diadopsi maka perlindungan yang disasar RUU PPILN bukan saja buruh migran itu sendiri tapi juga anggota keluarganya. Misalnya, bagaimana perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak buruh migran yang ada di Indonesia seperti hak atas pendidikan dan kesehatan. Tidak jarang anak-anak buruh migran Indonesia terlantar karena ditinggal orang tuanya bekerja ke luar negeri.

Perlindungan yang wajib diberikan negara terhadap buruh migran tidak diskriminatif sehingga dalam melakukan penanganan, tidak akan membedakan mana buruh migran yang menggunakan jalur prosedural mana yang non-prosedural. “Semua buruh migran Indonesia berhak mendapat perlindungan,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, berpendapat sampai saat ini pemerintah belum mengimplementasikan Konvensi PBB Tahun 1990 dalam setiap kebijakan. Diharapkan dalam membahas RUU PPILN pemerintah dan DPR menggunakan konvensi itu sebagai pedoman. “Hampir tidak ada kebijakan pemerintah (terkait buruh migran,-red) yang berpegangan pada nilai-nilai HAM,” ujarnya.

Analis Kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo, menilai pasca Konvensi PBB Tahun 1990 diratifikasi, tidak ada kebijakan pemerintah yang berdampak signifikan terhadap tata kelola buruh migran. Masih ada perbedaan pandangan antar instansi pemerintah dalam melihat persoalan seputar buruh migran. Misalnya, dalam forum-forum internasional Kementerian Luar Negeri mengedepankan perlindungan WNI termasuk TKI. Sementara Kementerian Ketenagakerjaan merasa konvensi itu sebagai beban.

Menurut Wahyu itu terlihat dari kebijakan yang diterbitkan instansi yang bersangkutan. Misalnya, pasca ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 terbit Kepmenaker No. 98 Tahun 2012 tentang Komponen Biaya Penempatan ke Hongkong dan Taiwan. Walau begitu Wahyu mengapresiasi regulasi yang diterbitkan Kemenaker yakni Kepmenaker No. 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Kepulangan TKI Secara Mandiri. “Tapi banyak Kepmenaker lain yang tidak berubah pasca diratifikasinya konvensi PBB Tahun 1990,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait