Begini Aturan Pembelian Listrik Tenaga Air
Berita

Begini Aturan Pembelian Listrik Tenaga Air

Penugasan dilakukan dengan penunjukan langsung dan penetapan harga tanpa negosiasi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Foto: RES
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Foto: RES
Realisasi proyek pembangkit listrik 35 ribu MW tak hanya fokus pada pemanfaatan batu bara dan sumber energi tak terbarukan lainnya. Melalui Peraturan Menteri No.19 Tahun 2015 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas 10 MW oleh PT PLN (persero), pemerintah memberi kesempatan kepada pelaku usaha memanfaatkan energi terbarukan seperti air.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, pengaturan itu sebagai bukti bahwa pihaknya juga mendorong pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW dari bahan bakar energi terbarukan dan ramah lingkungan. “Regulasi ini adalah semangat ekspansi bagaimana pembangkit listrik kita diproduksi dari bahan bakar energi terbarukan dan ramah lingkungan,” katanya sebagaimana dikutip hukumonline dari laman Kementerian ESDM, Kamis (10/3).

Dalam Pasal 2 Permen ESDM No.19 Tahun 2015 itu diatur bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan badan usaha swasta yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, atau swadaya masyarakat memiliki peluang yang sama untuk menjadi pengembang. Syaratnya, badan tersebut memang didirikan untuk berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik yang memanfaatkan tenaga air untuk PLTA. Selain itu, kapasitas pembangkit listrik yang bisa dikembangkan pun tebatas hanya sampai 10 mega watt (MW) saja.

Penugasan ini dilakukan dengan skema sebagai penunjukan langsung. Sementara itu, penetapan harga dilakukan oleh PLN sesuai tegangan dan lokasi. Penetapan harga tersebut dilakukan tanpa negosiasi juga tanpa eskalasi, dan berlaku sejak operasi berlangsung.

Selain itu, listrik produksi PLTA yang dikembangkan pun akan selalu terserap. Sebab, menurut Pasal 3, PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan dari PLTA tersebut. Bagi PLN, kewajiban itu berlaku baik bagi PLTA yang memanfaatkan aliran atau terjunan air sungai maupun tenaga air yang berasal dari waduk dan saluran irigasi.

“Kita sudah panggil direksi dan komisaris PLN untuk menekankan bahwa regulasi ini untuk dilaksanakan, dan kami sampaikan juga agar tidak miss-signal karena semangatnya adalah semangat ekspansi, tegas Menteri menjawab pertanyaan anggota DPR terkait dengan posisi PLN terkait dengan pelaksanaan regulasi tersebut,” kata Sudirman.

Di dalam Permen ESDM ini, mekanisme pembelian listrik dari PLTA diatur cukup rinci dalam bab tersendiri. Di dalam bab III ada 11 pasal mengenai berbagi hal menyangkut proses pembelian listrik. Pertama, badan usaha yang berminat memanfaatkan tenaga air untuk pembangkit listrik dengan kapasitas sampai dengan 10 MW, terlebih dahulu menyampaikan permohonan kepada Menteri ESDM melalui Dirjen EBTKE.

Kemudian, permohonan yang diajukan akan ditelaah. Menurut Pasal 6 ayat (2), ada dua belas persyaratan yang harus dilampirkan dalam berkas permohonan. Diantaranya, profil perusahaan, hasil studi kelayakan, jadwal pelaksanaan, hingga surat pernyataan tidak ada permasalahan perizinan.

Setelah itu, barulah keluar keputusan yang menentukan badan usaha tersebut layak untuk ditetapkan sebagai pengelola tenaga air untuk pembangkit listrik atau tidak. Keputusan tersebut diberikan paling lambat 30 hari setelah masuknya berkas permohonan.  Menurut Pasal 7 ayat (4), keputusan diberikan secara tertulis baik berupa penetapan maupun penolakan.

Badan usaha yang telah ditetapkan sebagai pengelola tenaga air untuk pembangkit listrik wajib melaporkan kemajuan pelaksanaan pembangunan PLTA setiap 6 bulan terhitung mulai tanggal penetapannya kepada Dirjen EBTKE.Pelaporan itu disampaikan secara berkala hingga tiba commercial operation date (COD). Dalam menyampaikan laporannya, badan usaha wajib melayangkan tembusan kepada Dirjen Ketenaglistrikan dan Direksi PT PLN.

Setelah ditetapkan sebagai pengembang, badan usaha wajib menyampaikan sertifikat deposito. Menurut Pasal 9 ayat (1), sertifikat itu harus disampaikan paling lambat 30 hari setelah penetapan. Nilai deposito yang dimiliki perusahaan setidaknya sebesar 5% dari jumlah investasi pembangunan yang akan dilakukan.

Nantinya, setelah memiliki izin usaha pembangkit tenaga listrik (IUPTL), perusahaan harus segera melakukan pembangunan. Pasal 16 memberi tenggat waktu pembangunan itu harus sudah mulai dilaksanakan sejak 3 setelah IUPTL dikeluarkan. Jika ketentuan ini dilanggar, perusahaan harus siap menerima sanksi. Tak tanggung-tanggung sanksi yang akan diganjarkan berupa penurunan harga yang diterapkan selama 8 tahun.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana menyampaikan, sejak peraturan ini ditetapkan sudah ada 175 pemohon untuk mendirikan PLTA melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Dari jumlah permohonan yang masuk, sebagian besar diterima. Ia menyebut, sudah ada 119 penetapan badan usaha sebagai pengembang.

Tags:

Berita Terkait