Pengadilan Hukum Polisi Penyiksa Tahanan? Itu Terobosan
Berita

Pengadilan Hukum Polisi Penyiksa Tahanan? Itu Terobosan

Tantangan ke depan adalah memidanakan pelaku kekerasan. Putusan pidana menjadi dasar untuk menggugat perdata.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Haris Azhar, Koordinator Kontras. Foto: Sgp
Haris Azhar, Koordinator Kontras. Foto: Sgp
Putusan pengadilan yang menghukum polisi dan institusi Polri (Pemerintah) untuk membayar ganti rugi kepada keluarga korban kekerasan di kantor polisi diapresiasi para aktivis HAM. Putusan itu dianggap bisa menjadi terobosan untuk menekan tindak penyiksaan dalam proses penegakan hukum.

Seperti diwartakan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Pemerintah c/q Polri c/q Polda Sumatera Barat c/q Polres Bukittinggi c/q Polsekta Bukittinggi. Dengan putusan ini berarti putusan sebelum yang menghukum 7 oknum polisi dan Polri mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hakim menegaskan tindakan polisi melakukan penyiksaan adalah perbuatan melawan hukum, sebagaimana dikuatkan pula dengan putusan pidana PN Bukittinggi. Hakim menghukum para Tergugat untuk membayar secara tanggung rentang 100.700.000 rupiah kepada Penggugat.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar menilai putusan MA itu sebagai terobosan hukum untuk mengontrol kultur kekerasan di lembaga kepolisian. Putusan ini menjadi terobosan bagi korban lain yang dalam prediksi KontraS jumlah ribuan. Para korban dan pengacara keluarganya, kata Haris, bisa terinspirasi keberhasilan gugatan itu untuk melakukan upaya hukum jika aparat  melakukan penyiksaan, kekerasan, atau penganiayaan dalam penyelidikan atau penyidikan.

Anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah, juga mengapresiasi putusan MA No. 2638 K/Pdt/2014 itu karena dalam perspektif HAM, penyiksaan untuk mengejar pengakuan tahanan tidak dapat dibenarkan. Menghentikan penyiksaan di ruang pemeriksaan sudah bertahun-tahun menjadi pekerjaan rumah Indonesia. Betapa tidak, Indonesia sebenarnya sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (UU No. 5 Tahun 1998).

Pelaku penyiksaan, kekerasan, atau penganiayaan di ruang pemeriksaan seharusnya bisa dipidana. Karena itu, ia mengapresiasi putusan Mahkamah Agung. “Kami mengapresiasi putusan MA itu, menyambut baik dan gembira ada putusan perdata yang memenangkan korban. Sehingga putusan itu menghukum para pelaku untuk memberi kompensasi kepada korban,” kata Roi, sapaan Roichatul Aswidah, kepada hukumonline lewat telepon, Rabu (16/3).

Menurut Roi, putusan MA tersebut bisa dijadikan acuan membentuk kerangka hukum terkait mekanisme pemulihan bagi korban penyiksaan. “Kami menyambut baik putusan ini semoga bisa menjadi langkah yang baik bagi kita untuk menguatkan kerangka penindakan dan pemulihan bagi korban tindak penyiksaan,” ujarnya.

Namun putusan yang berawal dari Pengadilan Negeri Bukittinggi Sumatera Barat itu tak lepas dari penyelesaian pidana terlebih dahulu. Majelis hakim pidana sudah lebih dahulu menghukum enam orang polisi pelaku penganiayaan terhadap korban Erik Alamsyah. Erik ditangkap karena dituduh sebagai pelaku pencurian sepeda motor. Di kantor polisi, pria ini mengalami penyiksaan hingga meninggal dunia. Ayah korban, Alamsyahfudin, akhirnya menggugat para pelaku plus Polri secara perdata.

Namun, Haris berpendapat mengajukan gugatan perdata sebenarnya tak perlu menunggu putusan pidana. Cuma, mungkin saja akan timbul masalah. Tak semua pimpinan di kepolisian bersedia memidanakan pelaku kekerasan yang notabene anak buah mereka sendiri. Yang penting, kata Haris, perlu menunjukkan korelasi kuat antara tindak kekerasan atau penganiayaan yang terjadi dengan kerugian yang dialami korban.

“Idealnya setiap orang yang melakukan kekerasan itu dihukum lewat mekanisme pidana. Tapi kalau proses pidana tidak berjalan maka gugatan perdata semakin harus dilakukan,” urai Haris.

Selain menggunakan mekanisme peradilan, dikatakan Haris, upaya lain untuk mendukung penuntasan kasus itu perlu dilakukan lewat lembaga pemerintahan terkait seperti Kompolnas, Komnas HAM dan Ombudsman. Misalnya, Komnas HAM bisa menemukan tindakan dan bentuk pelanggaran HAM, Ombudsman bisa menelusuri adanya penyalahgunaan fungsi pejabat publik dan Kompolnas untuk menemukan kesalahan dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian.

Putusan pengadilan itu bisa saja menggugah keluarga korban lain untuk menggugat. Sebaliknya, bagi kepolisian, putusan MA ini bisa dijadikan bahan evaluasi internal, terutama mengubah kultur kerja penegakan hukum terutama reserse. “Putusan ini juga perlu digunakan Polri untuk evaluasi internal,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait