Ini 3 Tantangan Terberat Produk Indikasi Geografis
Utama

Ini 3 Tantangan Terberat Produk Indikasi Geografis

Mulai penguatan MPIG, penyusunan buku persyaratan, hingga peningkatan skala produksi.

KAR
Bacaan 2 Menit
Seminar Nasional Indikasi Geografis yang diselenggarakan oleh Ditjen KI. Foto: RES
Seminar Nasional Indikasi Geografis yang diselenggarakan oleh Ditjen KI. Foto: RES

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia memiliki banyak potensi alam yang unik. Potensi alam yang demikian kaya juga menjadi sumber indikasi geografis yang berlimpah. Indikasi Geografis (IG) adalah sebuah sertifikasi dilindungi oleh undang-undang, digunakan pada produk tertentu yang sesuai dengan lokasi geografis tertentu atau asal.

IG mengakui produk dengan kualitas tertentu, dibuat sesuai dengan metode tradisional, atau menikmati reputasi tertentu dan atribut wilayah tertentu. Mereka umumnya produk-produk tradisional, yang dihasilkan oleh masyarakat pedesaan dari generasi ke generasi, yang telah mendapatkan reputasi di pasar karena kualitas rasa yang spesial. Sebab, faktor lingkungan geografis memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Lingkungan geografis tadi bisa berupa faktor alam, manusia, atau kombinasi keduanya.

Nyatanya, kendati potensi IG di Indonesia cukup melimpah tetapi hingga saat ini masih relatif sedikit IG yang terdaftar. Sebagaimana terdapat di dalam laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumhan, baru ada 35 IG yang terdaftar. 

Menurut Project Coordinator Indonesia-Swiss Intellectual Property (ISIP), Reto Meili, permohonan dan sertifikasi IG di Indonesia memang masih menemui hambatan dan tantangan. Tantangan pertama adalah penguatan organisasi masyarakat sebagai produsen barang yang dilindungi rezim IG. Hal ini karena proses sertifikasi produk IG tergantung kepada Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG).

“Masyarakat yang memiliki potensi geografis masih belum banyak yang menyadari potensi yang mereka miliki. Sehingga, harus ada upaya yang lebih gencar untuk membantu masyarakat mencari potensi IG di daerahnya,” kata Reto Meili kepada hukumonline, disela acara Seminar Nasional Indikasi Geografis "Best Practice of Geographical Indication", di Jakarta, Kamis (12/5).

Lebih lanjut, Reto menambahkan bahwa setelah menemukan potensi IG di daerahnya, tantangan pun belum selesai. Tantangan kedua berupa penyusunan buku persyaratan. Sebab, MPIG juga seringkali kesulitan dalam mendefinisikan produk IG-nya.

“Ini menjadi semacam ujian bagi MPIG. Mereka harus menemukan potensi yang bisa didaftarkan IG-nya. Kemudian, mereka harus mampu mendefinisikan secara teknis produk tersebut dalam buku persyaratan,” tambahnya.

Namun, Reto mengapresiasi kinerja pemerintah dan MPIG yang berhasil mendorong produksi buku persyaratan di berbagai daerah. Ia mengatakan, pemerintah Swiss telah menggelontokan dana sebesar 1.950.000 CHF atau AS$ 2.200.000 untuk mendukung produksi buku persyaratan tersebut. Melalui projek ISIP, pemerintah Indonesia dan pemerintah Swiss mengasistensi MPIG dalam penyusunan buku persyaratan.

“Kami menghadirkan ahli baik dari lokal maupun internasional. Tentunya ahli lokal sangat berpengaruh dalam hal ini karena berkaitan dengan karakteristik daerah yang tidak selalu relevan dengan keahlian dari ahli mancanegara,” ungkap Reto.

Di sisi lain, Reto menyadari bahwa IG tidak bisa didorong secara masif. Hal ini berkaitan dengan persyaratan IG yang terbatas pada geografis tertentu. Ia mengatakan, di negara asalnya pun IG yang terdaftar hanya berkisar pada angka 30.

Dirinya mengungkapkan, meskipun IG yang bisa didaftarkan tidak bisa masif ia yakin bahwa IG bisa menjadi alat rekayasa pembangunan di daerah. Menurutnya, produk yang sudah bersertifikat IG bisa memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Hal ini terkait dengan kontrol kualitas yang ketat dan kekhasan yang unik.

Reto juga optimis, daya beli masyarakat Indonesia masih cukup baik terhadap produk IG yang memang relatif lebih mahal. Sebab, menurutnya harga produk IG juga berkaitan dengan pelestarian kearifan lokal. Sehingga menurutnya masyarakat akan bisa menghargai produk IG dengan membayar lebih.

“Di Swiss pun kesadaran masyarakat untuk membeli produk IG semakin meningkat. Memang hal ini agak sulit. Masyarakat kami baru mulai sepuluh tahun terakhir ini cukup perhatian dengan produk IG. Tetapi ketika masyarakat tahu bahwa produk IG kualitasnya bagus dan berkaitan dengan keunikan suatu daerah, maka harga yang cukup tinggi tidak menjadi masalah,” terangnya.

Tantangan ketiga yang tak kalah mendesak adalah mengenai peningkatan skala produksi. Reto menyampaikan, tak memungkiri jika produk IG bisa diekspor. Hanya saja, banyak variabel yang harus diperhatikan untuk mencapai hal itu.

Menurutnya, salah satu perbaikan yang harus dilakukan untuk meningkatkan skala produksi IG adalah terkait dengan pembuatan code of practice. Ia mengatakan, buku persyaratan cukup rumit dan tebal sehingga kadang tak sepenuhnya dipahami pihak produsen yang ingin memproduksi. Menurutnya, code of practice cukup dibuat ringkas dan komprehensif.

Tags:

Berita Terkait