4 Perspektif Unsur Melawan Hukum dalam UU Tipikor
Utama

4 Perspektif Unsur Melawan Hukum dalam UU Tipikor

Implementasi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang tidak seragam memicu dilakukan penelitan dan penerbitan buku Restatement.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Diskusi dan peluncuran penelitian restatement di Jakarta, Selasa (17/5). Foto: RES
Diskusi dan peluncuran penelitian restatement di Jakarta, Selasa (17/5). Foto: RES
Dualisme penegakan hukum pasca Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 003/PUU-IV/2016 tanggal 25 Juli 2006 yang membatalkan sifat ‘melawan hukum’ materil dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakadilan. Sayangnya, permasalahan belum ‘seragam’ menafsirkan unsur melawan hukum dalam penanganan perkara  tindak pidana korupsi (tipikor), belum ada penelitian mendalam dari para pakar yang bisa diakses publik.

Padahal, di ruang-ruang persidangan, baik penuntut umum, advokat, hingga hakim terutama di Pengadilan Tipikor berdebat panjang soal unsur melawan hukum. Jika mereka saja berdebat, lantas bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu akan muncul pertanyaan-pertanyaan, seperti bagaimana sebetulnya makna melawan hukum sebagai unsur tindak pidana? Lalu, bagaimana konsep unsur melawan hukum saat UU Tipikor disusun? Serta, adakah putusan pengadilan yang bisa dirujuk sebagai yurisprudensi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) bersama Center for International Legal Cooperation (CILC) menerbitkan sebuah buku ‘Penjelasan Hukum: Unsur Melawan Hukum; Penafsiran Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi’. Buku yang juga program dari Judicial Sector Support Programme (JSSP), itu ditulis oleh Dosen Hukum Acara Pidana FH Universitas Andalas Shinta Agustina serta didampingi tim penulis lainnya, yakni Ariehta Eleison, Alex Argo Hernowo, dan Ronni Saputra.

“Dalam hukum pidana, melawan hukum (wederrechtelijk) mempunyai arti yang luas (formel dan materiel wederrechtellijk). Melawan hukum dalam arti luas berarti bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum tertulis, tapi juga asas-asas umum hukum yang berlaku termasuk juga hukum tidak tertulis,” ujar Shinta dalam acara peluncuran penelitian restatement di Erasmus Huis Jakarta, Selasa (17/5).

Seperti judulnya, buku setebal 109 halaman ini adalah sebuah penjelasan hukum (restatement). Restatement adalah kegiatan riset untuk memberikan penjelasan kembali atas suatu isu hukum tertentu. Rujukannya tak jauh dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, hingga doktrin hukum. Penelitian yang kurang lebih dilakukan selama enam bulan belakangan ini, tim penulis mengupas unsur melawan hukum dalam empat perspektif.

Pertama, unsur melawan hukum dalam arti materil dengan fungsi positif. Jika dilihat dari sejarahnya, ‘melawan hukum’ telah ada dalam peraturan pertama yang mengatur tentang tipikior secara khusus, yakni dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor 6 Tahun 1957. Setahun kemudian, dalam Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Tahun 1958, unsur melawan hukum dirumuskan sebagai bentuk ‘korupsi lainnya’.

Akan tetapi, unsur melawan hukum ternyata tidak ditemukan kembali dalam UU Nomor 24/Prp/1960 tetapi menggunakan unsur kejahatan atau pelanggaran. Pengertian ‘melawan hukum’ baru kembali disebut secara khusus sebagai salah satu unsur tipikor dalam Pasal 1 ayat (1) sub a UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan delik yang tidak jauh berbeda dan hanya sedikit perubahan kini dapat dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Jika dilihat rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor beserta penjelasannya, dapat dimaknai bahwa ‘melawan hukum’ dalam arti formil dan arti materiil dengan fungsi positif. Artinya, pasal itu membuka ruang bagi dapat dipidananya perbuatan yang sebelumnya tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Dikatakan Shinta, dari semua aturan kecuali UU Nomor 24/Prp/1960, pengertian ‘melawan hukum’ memiliki makna yang luas, baik secara formil atau materiil.

Pandangan formil, kata Shinta, apabila suatu perbuatan telah memenuhi larangan undang-undang, maka letak melawan hukum dan sifat melanggar telah ada dan pengecualian hanya ada dalam undang-undang saja. Sementara pandangan materiil, belum tentu semua perbuatan yang memenuhi larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Akan tetapi, pandangan materiil mengakui adanya pengecualian dari melawan hukum menurut hukum yang tertulis dan tidak tertulis.

“Baik yang berpandangan materiil maupun formil, berpandangan bahwa melawan hukum harus dibuktikan apabila dinyatakan secara tegas dalam unsur pasal,” kata Shinta.

Kedua, unsur melawan hukum sebagai suatu sarana. Meski ‘melawan hukum’ menjadi unsur dalam delik Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, unsur ini bukan merupakan bestandeel delict (delik inti) melainkan hanya menjadi sarana bagi perbuatan yang dilarang, yakni memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi. Argumentasi itu merujuk pada Penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub a UU Nomor 3 Tahun 1971 dan Penjelasan Umum UU Tipikor bahwa fungsi melawan hukum sebagai sarana.

Sayangnya, pada praktiknya pengertian ‘melawan hukum’ tidak lagi dipahami sebagai suatu sarana oleh penegak hukum. Penegak hukum lebih mendahulukan pembuktian terpenuhinya unsur ‘melawan hukum’ ketimbang membuktikan terjadinya perbuatan pelaku terkait memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Padahal, hubungan antara sifat melawan hukum dan perbuatan memperkaya diri sendiri dapat menunjukkan ada atau tidaknya sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan pelaku.

“Perlu mensosialisasikan hasil penelitian ini kepada seluruh penegak hukum agar terdapat kesamaan persepsi dan pedoman dalam menangani tipikor terkait Pasal 2 ayat (1),” tuturnya.

Ketiga, perbedaan antara Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Pada praktiknya, jaksa sering menggunakan Pasal 2 ayat (1) bersamaan dengan Pasal 3 UU Tipikor baik dengan dakwaan subsidaritas atau alternatif. Padahal, penggunaan Pasal 2 ayat (1) sebagai dakwaan primer cukup rumit bila ingin buktikan unsur ‘penyalahgunaan wewenang’ dalam Pasal 3. Terkait hal itu, Mahkamah Agung (MA) dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 telah menentukan kriteria jumlah kerugian negara sebagai dasar penerapan kedua pasal itu. Jika kerugian negara kurang dari Rp100 juta rupiah, maka diterapkan Pasal 3 dan jika lebih dari Rp100 juta diterapkan Pasal 2 ayat (1).

“Penentuan nilai ambang itu sangat subjektif sifatnya dan itu bertentangan dengan maksud UU Tipikor yang mengatur dua bentuk perbuatan yang berbeda. MA sebaiknya segera mencabut SEMA Nomor 7 Tahun 2012,” katanya.

Keempat, dualisme sikap MA dalam maknai ‘melawan hukum’ pasca putusan MK. Untuk menjawab hal itu, tim penulis mengkaji sejumlah putusan baik sebelum dan sesudah putusan MK dikeluarkan. Hasilnya, MA ternyata masih belum seragam dalam menerapkan pengertian ‘melawan hukum’. Misalnya, Putusan MA No. 103K/Pid/2007 tanggal 28 Februari 2007 dimana unsur ‘melawan hukum’ dimaknai dalam arti formil dan maeriil dengan fungsi positif. putusan lainnya dapat dilihat juga pada Putusan MA No. 2608K/Pid/2006.

“Perbuatan melawan hukum dalam perkara ini dipandang sebagai sarana bagi perbuatan memperkaya diri sendiri dan bukan sebagai delik ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor,” lanjutnya.

Terlepas dari hal itu, tim penulis juga mengkritisi Putusan MK yang membatalkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Dari analisanya, MK dinilai telah keliru dalam mengartikan wederechtelijk heid dengan onrechtmatigedaad. Selain itu, ada juga kekeliruan dalam memahamii bestanddel delict dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. “Untuk mengakhiri dualisme, MA sebaiknya konsistem menerapkan Putusan MA No.103K/Pid/2007 sebagai yurisprudensi,” sarannya.

Hadir sebagai penanggap, mantan Komisioner KPK Chandra M Hamzah punya perspektif berbeda menanggapi unsur ‘melawan hukum’ dalam konteks tipikor. Ia coba masuk dari sisi politik dibalik penyusunan delik pidana disemua aturan yang ada. Meski ia menilai ini bukan hal yang menarik bagi orang hukum, namun dibalik perdebatan ini ternyata jauh sebelum itu ada campur tangan politik yang melibatkan penguasa sekira tahun 1957-1958. “Mungkin itu tidak menarik buat orang hukum,” katanya.

Lebih lanjut, ketika itu ada persaingan antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Nasution. Saat itu, Nasution mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor 6 Tahun 1957 dengan dasar staatsblad. Kemudian staatsblad itu dinyatakan tidak berlaku UU Darurat Tahun 1957 yang menyatakan seluruh aturan berdasarkan staatsblad dinyatakan tidak berlaku sejak April 1958.

Sehari sebelumnya, dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Tahun 1968. Lalu karena kembali ke UUD 1945, maka peraturan penguasa itu akhirnya tidak berlaku. “Jadi tidak lepas dari dari naik-turunnya rezim yang berkuasa,” tambah Chandra.

Untuk diketahui, JSSP merupakan program kerjasama institusi di Indonesia dan Belanda selama dua tahun (2014-2016) yang dikembangkan sebagai respon terhadap permintaan dari MA dan Kejaksaan Agung untuk memperkuat rule of law di Indonesia. Program ini didanai oleh The Royal Netherlands Embassy (RNE) di Jakarta dan diadministrasikan oleh CILC dan LeIP. Sebagai restatement, kehadiran buku ini patut diapresiasi, terutama dalam menyamakan persepsi terkait unsur melawan hukum dalam UU Tipikor.

Bila berminat, silakan mengunduh buku ini secara cuma-cuma di sini.
Tags:

Berita Terkait