Sekali Lagi, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor
Berita

Sekali Lagi, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor

Ancaman hukuman termasuk yang diperdebatkan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Sekali Lagi, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor
Hukumonline
Dari tiga puluhan jenis tindak pidana korupsi yang disebut dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 2 dan Pasal 3 termasuk yang banyak memantik diskusi, bahkan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Ia juga menjadi pasal yang sering digunakan penuntut umum, seperti pasal ‘primadona’.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan  diri sendiri atau  orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Tetapi dalam praktik seringkali muncul kebingungan mana yang harus dipakai, pasal 2 atau pasal 3? Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) Padang, Shinta Agustina, menyatakan bahwa dua pasal dalam UU Tipikor tersebut sudah efektif untuk menjerat pelaku korupsi. Bunyi pasal sangat luas, dan perbuatan melawan hukum juga sangat luas.

“Menurut saya itu sudah efektif ya karena pasal itu sangat luas, melawan itu sangat luas. Jadi, perbuatan terdakwa yang melanggar aturan tertulis apapun sepanjang dia memperkaya dri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menimbulkan kerugian keuangan megara, dia bisa dijerat dengan pasal itu. Itu luas,” kata Shinta kepada hukumonline.

Pada dasarnya, lanjut Shinta, dua pasal tersebut sama-sama menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Perbedaannya, dalam Pasal 3, pelaku bisa dijerat jika mempunyai kewenangan, sedangkan Pasal 2, setiap orang yang dimaksud dalam pasal lebih luas dan umum.

“Unsur setiap orang adalah yang mempunyai kewenangan. Jadi perbuatan seseorang bisa saja bersifat melawan hukum, tapi belum tentu menyalahgunakan kewenangan. Jadi syarat untuk orang bisa dikenakan di dalam pasal 3 adalah dia harus punya kewenangan dulu, kedudukan, jabatan, jadi jabatan itu memberikan kewenangan kepada dia, nah kewenangan itu disalahgunakan,” jelas Shinta.

Shinta berpendapat tak ada yang salah dalam perumusan normanya, kecuali ada masalah ancaman pidana dalam pasal 3. Pasal 3 merumuskan penyalahgunaan wewenang, tetapi ancaman minimum lebih rendah daripada perbuatan melawan hukum. Jika pasal 2 ayat (1) ancaman pidana penjara maksimumnya 20 tahun dan minimum empat tahun, sementara pasal 3 ancaman pidananya , dan maksimum 20 tahun, minimumnya hanya 1 tahun.

Seharusnya, kata Shinta, ancaman pidana yang dirumuskan untuk Pasal 3 lebih tinggi dari Pasal 2. Hal tersebut dikarenakan perbuatan korupsi yang dilakukan dalam Pasal 3 haruslah memiliki kewenangan terlebih dahulu, dan ada penyalahgunaan wewenang sehingga tindakan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau koorporasi tersebut merugikan negara.

Jika melihat putusan-putusan hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi, terutama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Penjelasan Pasal 2, Shinta menilai belum ada kesamaan persepsi di antara hakim tentang kapan suatu perbuatan melawan hukum tersebut akan dikenakan Pasal 2 ayat (1), dan kapan pula akan dikenakan Pasal 3.

Sebenarnya sudah ada pendirian Mahkamah Agung dalam beberapa putusan, dan disinggung antara lain dalam putusan No. 1038 K/Pid.Sus/2015. MA berpendirian kerugian negara di atas 100 juta akan dikenakan Pasal 2 UU Tipikor. Kalau penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif, Pasal 2 atau Pasal 2, maka yang lebih tepat menurut hakim perkara ini, adalah Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Putusan perkara ini tentang seorang pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan.

Sehubungan dengan perbedaan pandangan di kalangan aparat hukum, saat ini sedang dilakukan kajian tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Shinta mengaku terlibat dalam penelitian itu.

Peneliti PSHK Miko Susanto sepakat atas penjelasan Shinta. Menurut Miko, sebenarnya tidak ada masalah dalam konteks penyalahgunaan wewenang, tetapi isu dari Pasal 2 dan Pasal 3 itu adalah soal bagaimana merumuskan ulang dan menunjukkan ada mens rea atau niat jahat dalam kedua pasal tersebut.

“Nah di Pasal 2 dan Pasal 3 itu tidak tergambarkan soal unsur mens rea, yaitu unsur melawan hukum tadi, apakah unsur melawan hukum, apakah dia sengaja, apakah dia lalai, memang tidak terlihat. Sehingga perlu dirumuskan ulang untuk mempertegas ada mensrea atau tidak,” jelasnya.

Sehingga, lanjutnya, UU Tipikor penting untuk dilakukan revisi terutama Pasal 2 dan Pasal 3. Unsur niat jahat dan memperkaya diri sendiri harus dipertegas.

Menurut dia, banyak kasus yang ketika dikaji sebenarnya bukan korupsi karena tidak ada niat jahat untuk korupsi. Namun ada prosedur administratif yang diabaikan, atau ada unsur-unsur di luar niat jahat terdakwa itu dianggap sebagai unsur. “Makanya perlu direvisi pasal itu untuk mempertegas apa niat jahat korupsi. Yang kedua itu deliknya, delik pasal 2 dan 3 itu memperkaya diri sendiri dan orang lain secara melawan hukum,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait