Mahmud Mulyadi, Dosen Pidana Berambut Jambul
Berita

Mahmud Mulyadi, Dosen Pidana Berambut Jambul

Seorang pejabat Kementerian Hukum dan HAM pernah memujinya. Penampilannya berubah berkat dorongan isteri.

Oleh:
RIA/MYS
Bacaan 2 Menit
Dr. Mahmud Mulyadi (kemeja biru) di tengah beberapa dosen hukum pidana. Foto: RIA
Dr. Mahmud Mulyadi (kemeja biru) di tengah beberapa dosen hukum pidana. Foto: RIA
Datang dengan penampilan agak nyentrik, seorang pria menonjol dengan rambutnya yang seperti bergaya Mohawk, disisir rapi ke atas. Sepatunya lancip dan mengkilap, celana jeans yang dikenakannya berpadu dengan kemeja bermotif dengan warna terang. Di jemari tangannya melingkar beberapa cincin batu akik, dan di lehernya menggantung kalung berbatu besar.

Penampilan yang nyentrik di tengah puluhan akademisi dan praktisi hukum pidana di Banjarmasin, pertengahan Mei lalu, ini tak lantas membuat pria bergaya nyentrik itu risi. Ia bahkan terbilang sangat ramah dan bisa cepat akrab kepada setiap orang yang bertemu. Dengan para guru besar hukum pidana yang hadir di perhelatan itu pun pria asal Palembang itu tampak dekat, meskipun usia mereka berbeda.

Dan ketika Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, bertemu, yang keluar adalah sapaan yang terkesan akrab. “Hai, Jambul,” seru Prof. Harkritusi. Yang disapa pun langsung menyalami dan mencium tangan sang profesor.

Pria nyentrik yang bertemu Prof. Harkristuti itu adalah Mahmud Mulyadi. Datang jauh-jauh dari Medan, Sumatera Utara, ke Banjarmasin Kalimantan Selatan, Mahmud tak sedang plesiran. Meski berpenampilan nyentrik, acara yang dihadiri Mahmud justru terbilang serius: SimposiumNasional dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi III. Pesertanya pun akademisi dan praktisi. Sejumlah guru besar ternama hadir di acara yang dihelat Masyarakat Hukum Pidana Indonesia (Mahupiki) dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat itu.

Mahmud memang bagian dari komunitas akademisi hukum pidana. Kini, pria peraih gelar doktor ilmu hukum dalam usia 31 tahun itu berstatus sebagai staf pengajar hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Medan.

Di forum pertemuan ilmiah itu, tak hanya tampilan nyentrik Mahmud yang menonjol, tetapi juga keaktifannya dalam diskusi. Setiap ada sesi tanya jawab, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam dan kritikal, disertai dalil yang kuat. Termasuk mengutip ayat-ayat al-Qur’an ketika bicara tentang pidana adat atau konsep restorative justice.

Meskipun acapkali mengajukan pertanyaan dan pernyataan kuat, rambut Mohawknya tetap menjadi hal yang paling menarik perhatian peserta lain, bahkan menjadi bahan guyonan. Kebetulan, Ketua Panitia Simposium dan Pelatihan, Syaifuddin, berkepala plontos. “Susah jadi Mahmud itu. Mau berpenampilan saja, dia perlu ke salon dulu untuk membentuk rambutnya. Enaklah seperti saya. Tidak perlu disisir,” kata Syaifuddin berkelakar.

Rambut jambul Mahmud sebenarnya baru dibentuk pada 2011. Kala itu, Mahmud bercerita, sang isteri mengatakan bosan melihat penampilan sang suami. Lantaran ingin sang suami punya tampilan berbeda, isterinya membawa Mahmud ke salon. Di sinilah rambut Mahmud dibentuk. Apa daya, Mahmud tak mungkin menolak permintaan istrinya. “Bisa bahaya kalau ditolak,” ucapnya.

Penampilan baru itu bukan tanpa masalah. Paling tidak, bagaimana menjelaskan kepada civitas akademika FH USU, dan yang terpenting kepada mertuanya. Apalagi ia segera pulang kampung ke Palembang. “Ya takutnya kan kalau melihat saya begini, mertua mikir saya sedang puber kedua. Nanti beliau khawatir kalau saya pacaran lagi terus anaknya ditelantarin. Tetapi kemudian istri bilang masalah ayah itu biar dia saja yang urus. Dan memang sampai sekarang tidak pernah bertanya ayah mertua itu,” tuturnya.

Tidak ditanya oleh mertua di rumah, pria yang lahir 41 tahun lalu ini justru kena tegur seniornya di kampus, termasuk Guru Besar Emeritus M. Solly Lubis. Guru Besar Hukum Pidana FH USU, Alvi Syahrin, sempat menasihati Mahmud karena dipikir koleganya itu mengubah penampilan karena sedang berpacaran lagi. Berdalih menghormati senior, Mahmud mengaku mengangguk saja dinasihati Profesor Alvy. “Saya memang pacaran lagi, ya sama istri saya,” ucap Mahmud terkekeh.

Beda orang beda cerita. Oleh muridnya Mahmud malah dilarang berpenampilan rapi seperti dosen kebanyakan. Mahasiswa pernah bertanya apakah ia sedang “sakit” saat datang ke kampus dengan celana bahan. Mereka bilang, ‘Nggak cocok Pak, balik pakai jeans sajalah,’ cerita Mahmud.

Meski begitu, sesekali ada juga mahasiswa yang bertanya mengapa sang dosen pidana bergaya ala anak muda. Mahmud dengan kesederhanannya beralasan karena di usia mahasiswa ia tidak memiliki cukup fasilitas untuk berpenampilan semuanya. Kalau sekarang Alhamdulillah sudah  bisa untuk ke salon, lanjutnya.

Mahmud meraih gelar SH-nya dari FH Universitas Sriwijaya pada tahun 1998. Saat ada kesempatan melanjutkan S2 dan S3 di FH USU dengan beasiswa penuh, ia pun tidak melewatkannya. Duduk di bangku magister mulai tahun 1999, dua tahun setelahnya ia langsung melanjutkan program doktor.

Beasiswa yang ditawarkan oleh FH USU bekerja sama dengan FH UI ini jugalah yang mengantarkannya menjadi dosen di tahun 2002. “Memang untuk itulah program beasiswa ini dibuat. Jadi ada ikatan dinas istilahnya. Ketika mendaftar untuk S2 dan S3 itu, satu paket dengan kita mendaftar menjadi tenaga pengajar di USU,” ujar Mahmud.

Sekarang, pria yang berangkat merantau dari sebuah desa di tepian sungai Musi itu pun sudah kerasan dengan hidupnya di Medan. Ia pernah diajak untuk balik ke Palembang, tetapi suasana di Medan telah membuatnya betah. Di Medan pula ia membuktikan bahwa penampilan nyentrik tak identik dengan berandal. Di Banjarmasin, dalam Simposium dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi III, pun Mahmud membuktikan eksistensi dirinya sebagai akademisi hukum pidana.

Bahkan di Jakarta, dalam suatu seminar nasional, Mahmud bisa menjadi pembicara sejajar dengan senior-seniornya seperti Prof. Muladi dan Muzakkir. Dalam seminar di aula Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM itu, Mahmud Mulyadi dipuji seorang pejabat eselon I Kementerian, sebagai salah seorang tokoh hukum pidana Indonesia masa depan.
Tags: