Meski Ditolak YLKI, Pembahasan RUU Pertembakauan Jalan Terus
Berita

Meski Ditolak YLKI, Pembahasan RUU Pertembakauan Jalan Terus

Konsumsi rokok dinilai YLKI menjadi faktor utama tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Anggota Panja RUU Pertembakauan menduga sudah ada serangan asing melalui koalisi anti rokok.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: SGP
Foto ilustrasi: SGP
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan sedang dibahas intens oleh Panja RUU Tembakau Badan Legislasi DPR. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, meminta Presiden Joko Widodo menolak RUU itu karena bertentangan dengan Nawa Cita.

Dalam rilis yang dikutip hukumonline, Kamis (28/7), Tulus Abadi mengatakan RUU Pertembakauan akan mendorong dengan cepat tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia. Sebab, tujuan utama RUU Pertembakauan adalah meningkatkan produksi rokok nasional, tanpa batas. Sedangkan di sisi lain, kelompok masyarakat yang paling tinggi mengkonsumsi rokok di Indonesia adalah rumah tangga miskin.

Tulus mengatakan, data BPS membuktikan dengan sangat kuat bahwa rumah tangga miskin di Indonesia mendedikasikan pendapatannya nomor dua untuk konsumsi rokok (12, %) dari pendapatannya per bulan atau nomor 2 setelah konsumsi beras. Dengan demikian, RUU Pertembakauan akan menjadi instrumen paling ampuh untuk meningkatkan prosentase masyarakat miskin di Indonesia.

“Target pemerintah dalam memenuhi SDGs akan gagal total jika RUU Pertembakauan disahkan menjadi UU,” ujarnya.

Selain itu, sambung Tulus, RUU Pertembakauan akan mengakibatkan pola pembiayaan BPJS jebol. Menurutnya, berapapun tariff BPJS, tidak akan mampu menanggung biaya operasional karena jumlah masyarakat yang sakit terus meningkat. Salah satu pemicu utama penyakit utama yang dominan saat ini, seperti stroke, jantung koroner, bahkan diabet. Hal itu disebabkan tingginya konsumsi rokok.

“Tingginya konsumsi rokok, di tengah upaya masih rendahnya kampanye dan perilaku hidup sehat, akan meningkatkan jumlah penyakit tidak menular secara signifikan,” kata Tulus.

Tulus berpendapat, RUU Pertembakauan adalah agenda terselubung dari kepentingan asing untuk mengukuhkan Indonesia sebagai negara terakhir yang akan dijadikan target pemasarannya. Hal ini mengingat jumlah penduduk dan jumlah perokok di Indonesia yang sangat besar dan dengan pertumbuhan perokok tercepat serta tertinggi di dunia, yakni 14% per tahun.

Saat ini, kata Tulus, 188 negara di dunia telah meregulasi dan membatasi konsumsi, penjualan, promosi dan iklan rokok dengan sangat ketat. Hanya Indonesia yang sangat melonggarkan konsumsi, penjualan dan promosi rokok. Dan RUU Pertembakauan menjadi alat yang paling efektif untuk memudahkan akses dan konsumsi rokok di Indonesia.

Mengingat begitu cepatnya pembahasan dan rencana pengesahan RUU Pertembakauan, Tulus menduga kuat RUU tersebut adalah produk RUU yang transaksional, koruptif dan kolutif. “Oleh karenanya, YLKI meminta KPK mengawasi dan menyelidiki proses pembahasan RUU Pertembakauan ini,” pinta Tulus.

Terus Berjalan
Untuk diketahui, RUU Pertembakauan sedang dibahas intens oleh Panja RUU Tembakau Badan Legislasi DPR. Bagi DPR, RUU ini dinilai bermanfaat untuk melindungi sekaligus mensejahterakan petani tembakau. Pasalnya, RUU ini tidak saja membicarakan soal kesehatan atau bahaya rokok, tapi juga untuk kedaulatan petani tembakau.

Dikutip dari laman dpr.go.id, anggota Panja RUU Tembakau, Taufiqulhadi mengatakan seluruh elemen masyarakat, baik elit maupun petani tembakau harus berpikir rasional dengan RUU ini, sehingga akan ada kemitraan antara pengusaha rokok dan petani tembakau.

“Jangan sampai ada lagi impor tembakau dari luar, sedangkan tembakau kita diekspor untuk industri rokok asing, untuk kemudian dijual lagi ke Indonesia,” kata Taufiqulhadi yang juga pengusul RUU Tembakau.

Politisi Partai Nasdem ini menjelaskan, dalam pembahasan RUU ini sudah ada serangan asing melalui koalisi anti rokok. Tapi, menurutnya, jika semua pihak mempunyai komitmen moral dan jati diri bangsa yang kuat, maka serangan dan intervensi asing itu tak akan merontokkan komitmen DPR maupun Pemerintah RI untuk segera mengesahkan RUU ini menjadi UU.

“Jadi, kalau tidak akan diparipurnakan pada sidang ini, maka RUU ini akan disidangkan pada sidang berikutnya,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Wisnu Brata, mengatakan selama ini para petani sudah frustasi dengan karena masalah tembakau. Sayangnya, Negara tidak pernah hadir di tengah persoalan yang dihadapi para petani tembakau. Dengan RUU ini, kata Brata, seperti ada pencerahan dan ada penebusan dosa bagi petani.

“Sejak tahun 1999 ketika Presiden BJ Habibie saat itu melalui PP No.72 Tahun 1999 yang mengatur soal tar, tapi pada tahun 2000 sudah keluar rokok mild, yang justru mematikan industri kecil, karena untuk mild perlu investasi besar,” keluhnya.

Brata menjelaskan, kalau sebelumnya asing hanya mengusai 7% industri rokok nasional, tapi saat ini sudah mencapai 58%. Untuk itu, kalau pemerintah tidak hadir, maka 5–10 tahun ke depan petani tembakau di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, dan NTT akan tinggal kenangan.

“Di mana petani tembakau sudah tidak ada, namun rokok masih beredar luas di Indonesia. Nasib itu akan sama dengan kasus bawang merah, bawang putih, dan lain-lain,” jelas Wisnu.

Tags:

Berita Terkait