FOINI Minta Tafsir Pengangkatan Anggota Komisi Informasi
Berita

FOINI Minta Tafsir Pengangkatan Anggota Komisi Informasi

Pemohon meminta tafsir Pasal 33 UU KIP agar dimaknai pengangkatan kembali anggota Komisi Informasi harus melalui proses seleksi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Salah satu kegiatan FOINI mengadvokasi isu keterbukaan informasi. Foto: FOINI
Salah satu kegiatan FOINI mengadvokasi isu keterbukaan informasi. Foto: FOINI
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) melayangkan uji materi Pasal 33 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Pasal ini mengatur proses pengangkatan dan masa jabatan anggota Komisi Informasi. Tercatat sebagai pemohon yakni YAPPIKA, PATTIRO, PERLUDEM, warga Gorontalo Djufryhard dan Desiana Samosir.

Para pemohon mempersoalkan pasal itu lantaran proses pengangkatan anggota Komisi Informasi (KI) Provinsi Gorontalo periode kedua oleh gubernur dilakukan tanpa proses seleksi ulang, seperti berlaku di 14 provinsi lain diantaranya KI DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, NTB, Sulawesi Utara, Bali, Aceh, DI Yogyakarta, dan Sumatera Utara. Proses pengangkatan seperti yang terjadi di Gorontalo dinilai melanggar pedoman yang ditentukan dalam SK Ketua Komisi Informasi Pusat No. 01/KEP/KIP/III/2010 tentang Pedoman Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi Provinsi.

“Praktiknya, Pasal 33 UU KIP khusunya frasa ‘diangkat kembali’ menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, proses pengangkatan anggota KI Provinsi Gorontalo periode sebelumnya oleh gubernur tanpa melalui proses seleksi ulang,” ujar kuasa hukum para pemohon, Wahyudi Djafar, usai mendaftarkan pengujian UU KIP di gedung MK, Kamis (18/8).

Pasal 33 UU KIP menyebutkan “Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.”

Wahyudi mengatakan jika tidak ditafsirkan secara jelas, pasal itu akan menimbulkan polemik. Sebab, pengangkatan kembali anggota KI Provinsi tanpa seleksi ulang sebagaimana yang terjadi di Gorontalo potensial diikuti provinsi-provinsi lain termasuk Komisi Informasi Pusat (KIP).

Para pemohon menilai praktik semacam itu menciderai prinsip good governance dan menutup peluang calon-calon terbaik untuk mengikuti seleksi anggota KI Provinsi. Sebab, praktik pengangkatan anggota KI Provinsi tanpa proses seleksi ulang telah menutup ruang partisipasi publik dan menghambat hak konstitusional sebagian warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

“Ada perlakuan yang berbeda warga negara, persamaan menduduki jabatan di pemerintahan. Misalnya, warga negara di Jakarta bisa mendaftar, tetapi warga Gorontalo tidak bisa mendaftar anggota KI Provinsi,” lanjutnya.

Menurut peneliti Elsam itu, kepastian hukum proses pengangkatan kembali anggota Komisi Informasi yang terkandung dalam Pasal 33 UU KIP harus dipertegas. Karena itu, Pemohon meminta tafsir Pasal 33 UU KIP agar dimaknai bahwa pengangkatan kembali anggota Komisi Informasi harus melalui proses seleksi sebagaimana diatur Pasal 31 dan Pasal 32 UU KIP.

“Kita minta MK menafsirkan frasa ‘diangkat kembali’ Pasal 33 UU KIP dipilih melalui proses seleksi sebagaimana prosedur seleksi yang berlaku. Artinya, gubernur tidak boleh langsung mengeluarkan surat pengangkatan anggota KI provinsi untuk periode berikutnya sebelumnya melakukan seleksi kembali,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait