Ancaman yang Dikhawatirkan Jika Pasal Zina Diperluas
Berita

Ancaman yang Dikhawatirkan Jika Pasal Zina Diperluas

Orang yang perkawinannya tidak diakui negara pun bisa terancam.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ancaman yang Dikhawatirkan Jika Pasal Zina Diperluas
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi sebenarnya bukan positive legislator, dalam arti tak bisa menambah norma secara langsung ke dalam pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Namun, sejumlah pihak sudah mengungkapkan kekhawatiran terhadap kemungkinan perubahan rumusan pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP, khususnya Pasal 284 yang mengatur perzinaan (overspel).

Resiko yang paling dikhawatirkan Komnas Perempuan, misalnya, adalah ancaman kriminalisasi. Artinya, banyak orang terancam dipidana jika makna zina diperluas. Saat ini cakupannya masih terbatas, hanya jika salah satu atau kedua belah pihak sudah menikah. Itu pun harus ada pengaduan dari pasangan salah satu pihak.

Pasal 284 KUHP menyebutkan diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan seorang pria atau perempuan yang telah kawin yang melakukan overspel padahal diketahuinya Pasal 27 BW berlaku baginya. Pasal ini adalah delik aduan. Pengaduan bisa dicabut hingga batas waktu sidang dimulai.

Komnas Perempuan termasuk lembaga yang paling khawatir atas permohonan pengujian Pasal 284 KUHP, karena itu Komisi ini sengaja meminta dijadikan sebagai Pihak Terkait di sidang Mahkamah Konstitusi. Komisioner Komnas Perempuan, Azriana, mengatakan jika MK mengabulkan perluasan pasal kesusilaan sebagaimana diinginkan para pemohon itu akan berdampak pada masyarakat. “Perluasan pemidanaan kepada mereka yang tidak terikat perkawinan akan bertentangan dengan tujuan pasal tersebut,” kata Azriana dalam jumpa pers di kantor Komnas Perempuan di Jakarta.

Azriana menduga pemohon pengujian Pasal 284 KUHP ingin perzinaan ditafsirkan menggunakan ukuran agama. Kalau itu yang diinginkan, Azriana mendorong pemohon mengajukan usulan ke DPR untuk dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Ia menganggap salah alamat jika dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Azriana memprediksi jika pasal perzinahan ini diperluas akan mengakibatkan maraknya kriminalisasi terhadap orang yang status perkawinannya tidak diakui oleh negara. Misalnya, suami dan istri dari kelompok penghayat kepercayaan atau penganut agama leluhur. Status perkawinan mereka sampai sekarang masih berhadapan dengan sejumlah regulasi yang diskriminatif sehingga perkawinannya oleh negara dianggap belum sah.

Komnas Perempuan mencatat ada pula status perkawinan yang belum dicatatkan karena terjadi dalam situasi konflik. Sehingga layanan publik di daerah itu lumpuh. Suami dan istri dalam perkawinan poligami juga terkena imbas dari perluasan pasal perzinaan ini karena tidak sesuai dengan persyaratan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Poligami kebanyakan kan dilakukan tanpa persetujuan istri sebelumnya, kawin di bawah tangan, sehingga perkawinan itu dianggap tidak sah,” ujarnya.

Kriminalisasi juga akan menyasar anak yang terpapar aktivitas seksual. Perluasan Pasal 284 KUHP seperti diinginkan pemohon, berarti anak yang melakukan hubungan seksual akan dipidanakan. Padahal akar masalahnya ada pada kegagalan sistemik pendidikan nasional baik formal dan informal.
Dipidanakannya hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat perkawinan sangat berpotensi mengkriminalkan atau menghukum prempuan korban perkosaan. Sebab pelaku bisa mendalilkan perkosaan atau pencabulan itu sebagai suka sama suka. Komnas Perempuan menemukan pola ini dari sejumlah kasus perkosaan yang dipantau.

Perluasan juga bisa menyebabkan zina menjadi delik umum, bukan lagi delik aduan. Perubahan ini bisa mencabut hak warga negara menikmati perlindungan bagi institusi perkawinan dan keluarganya. Tak jarang suami atau isteri memutuskan untuk tidak melaporkan zina yang dilakukan pasangannya karena tidak ingin perkawinannya terhenti atau anak-anaknya mengetahui. Dengan memperluas pasal 284 KUHP, Azriana mengatakan orang yang mengetahui pasangannya berzina tapi tidak melapor maka bisa dituding menyembunyikan tindak pidana.

Azriana melihat salah satu argumen yang disampaikan pemohon untuk memperluas pasal 284 KUHP yakni mau mengurangi prostitusi dan jumlah perempuan hamil diluar nikah dan ditelantarkan. Zina yang diinginkan pemohon untuk diatur dalam KUHP itu sebagaimana zina dalam konteks pemahaman agama.

Menurut Azriana itu pandangan yang keliru karena melihat zina sama seperti kekerasan seksual, padahal keduanya berbeda. Komnas Perempuan menilai menghindari tanggungjawab untuk menikahi perempuan yang telah dihamili termasuk kekerasan seksual. Begitu juga dengan prostitusi.

Untuk mengatasi masalah itu Azriana berpendapat harus dilakukan secara komprehensif, bukan dengan memperluas pasal 284 KUHP. Untuk itu Komnas Perempuan mendorong pemerintah dan DPR untuk membahas sekaligus menerbitkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Penggunaan pasal 284 KUHP untuk tindakan eksploitasi seksual hanya akan menghukum korban dan memberi ruang pelaku menggunakan pola yang sama untuk melakukan tindakan serupa kedepan.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, khawatir kriminalisasi akan marak terjadi jika perluasan pasal kesusilaan dikabulkan MK. Padahal, banyak perkawinan yang statusnya belum tercatat sehingga dianggap tidak sah di hadapan negara. Mereka bisa dipidana karena dianggap melakukan zina. Perempuan akan menjadi korban karena bukti zina ada di tubuh perempuan (jika ia hamil). “Jika ini dikabulkan yang potensial dihukum karena zina ini kaum perempuan,” urainya.

Di tengah sistem hukum di Indonesia yang masih rapuh, Yuniyanti khawatir yang nanti dikriminalkan adalah orang yang tidak punya akses. Jika itu terjadi maka pelaku zina yang punya kemampuan ekonomi bisa lepas dari jerat hukum.
Tags:

Berita Terkait