Problem Diplomatik dan Pelanggaran HAM di Papua
Berita

Problem Diplomatik dan Pelanggaran HAM di Papua

Permasalahan dugaan pelanggaran HAM di Papua merupakan isu hangat di Negara-negara Pasifik. Bukan hanya menjadi perbincangan di level elit, tetapi juga menjadi pergunjingan di masyarakat.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
Dengan menggunakan pakaian khas Papua, mereka mendesak KPK untuk mengusut kasus korupsi yang diduga melibatkan sejumlah pejabat yang akan ikut mencalonkan diri pada Pilkada serentak pada 2017 mendatang.
Dengan menggunakan pakaian khas Papua, mereka mendesak KPK untuk mengusut kasus korupsi yang diduga melibatkan sejumlah pejabat yang akan ikut mencalonkan diri pada Pilkada serentak pada 2017 mendatang.
Para pemimpin dari enam Negara Pasifik yang tergabung dalam MSG (Melanesia Spearhead Group) mengangkat isu dugaan pelanggaran HAM di Papua pada UNGA (United Nations General Assembly) atau sidang majelis umum PBB pada bulan September lalu. Keenam Negara pasifik itu adalah Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Nauru, Kepulauan Marshall, dan Tuvalu.

Kasus ini ramai diperbincangkan karena perwakilan diplomatik Indonesia, Nara Masista Rakhmatia, menepis tuduhan mengenai adanya dugaan pelanggaran HAM di Papua yang disuarakan oleh keenam pimpinan Negara pasifik tersebut. Perwakilan diplomatik Indonesia ini justru menyatakan bahwa pernyataan keenam pimpinan Negara Pasifik tersebut didompleng oleh kelompok separatis dan menegaskan bahwa komitmen Pemerintah Indonesia dalam penegakan HAM tidak perlu dipertanyakan lagi. Pernyataan ini menuai pro kontra publik karena menyiratkan bahwa Pemerintah Indonesia selama ini menutup-nutupi adanya dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua.

Koordinator Jaringan Papua Damai, Pastor Neles Tebay, angkat suara atas peristiwa yang dianggap mencoreng citra Indonesia di mata dunia internasional karena dianggap sebagai Negara yang tidak menghormati Hak Asasi Manusia. “Jadi saya pikir, jika dugaan pelanggaran HAM di Papua tidak dicarikan solusi penyelesaiannya. Atau jika masalah di Papua masih hanya difokuskan pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur saja, Pemerintah Indonesia akan dinilai telah mengabaikan dugaan pelanggaran HAM. Pemerintah harus mencari jalan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM di Papua,” ujar Pastor Neles.

Ia menjelaskan bahwa keenam Negara Pasifik yang angkat bicara mengenai dugaan pelanggaram HAM di Papua ini memiliki alasan yang kuat. “Jika ada pertanyaan mengapa Negara-negara Pasifik memiliki sentiment tersendiri dalam dugaan pelanggaran HAM di Papua? Saya pikir, sentimen yang pertama itu kesamaan ras Melanesia antara orang Papua, dengan orang-orang yang berasal di Papua Nugini, Fiji, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan-lain-lain. Sehingga ketika mereka mengetahui permasalahan yang terjadi di Papua, mereka menganggap ini adalah permasalahan keluarga Melanesia,” tambahnya.

Menurut Neles Tebay, permasalahan dugaan pelanggaran HAM di Papua merupakan isu hangat di Negara-negara Pasifik. Bukan hanya menjadi perbincangan di level elit, tetapi juga menjadi pergunjingan di masyarakat. “Karena mereka menganggap masalah yang terjadi di Papua adalah permasalahan keluarga besar Melanesia. Elite politik di negera-negara Pasifik bisa berbeda pendapat soal banyak hal, tetapi mereka satu suara tentang pelanggaran HAM di Papua. Bahkan permasalahan yang terjadi di Papua ini tidak hanya dibahas di kalangan elit saja, tetapi juga mengakar sampai menjadi isu-isu masyarakat di kampung-kampung,” katanya.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Pastor Neles Tebay, pada Desember tahun ini, Negara-negara yang tergabung dalam MSG akan melakukan konsensus apakah Papua bisa diterima menjadi bagian dari MSG. “Terdapat dua anggota MSG yang mendukung Papua menjadi bagian dari Indonesia itu Papua Nugini dan Fiji, itu berarti mereka tidak mau Papua diterima menjadi anggota MSG. Sementara tiga anggota MSG yakni Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Kaledonia Baru itu mau menerima Papua sebagai bagian dari MSG. Tiga Negara ini akan membuat konsensus pada bulan Desember nanti, apakah Papua akan diterima atau tidak menjadi bagian dari MSG,” katanya.

Pastor Neles menjelaskan konsekuensi hukum jika Papua diterima menjadi bagian dari MSG. “Jika Papua diterima menjadi bagian dari MSG, maka secara resmi bendera bintang kejora akan dikibarkan di halaman sekretariat MSG. Karena di halaman sekretariat MSG dikibarkan bendera dari Negara-negara anggota MSG. Dengan demikian, apabila konflik di Papua terus menjadi bahasan di Negara-negara MSG, atau apabila Papua benar-benar diterima menjadi bagian dari MSG, maka dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua itu akan terus diperjuangkan oleh Negara-negara anggota MSG dalam sidang umum PBB,” ujarnya.

Pastor Neles menyarankan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan dugaan pelanggaraan HAM di Papua, dibandingkan menutupi fakta yang sebenarnya terjadi di Papua. “Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mesti menyelesaikan dugaan konflik yang terjadi di Papua. Selama Pemerintah Indonesia tidak menyelesaikan dugaan pelanggaran konflik yang terjadi di Papua, selama itu pula Negara-negara MSG akan mengangkat isu di Papua,” tuturnya. (Baca Juga: Papua Sulit Damai Bila Belum Ditemukan Akar Permasalahannya)

Apabila dugaan pelanggaran HAM yang terjadi diabaikan dengan strategi diplomasi yang mengabaikan fakta-fakta yang terjadi, komitmen Pemerintah Indonesia dalam penegakkan HAM justru akan semakin diabaikan oleh dunia internasional. “Ketika Negara-negara MSG masih terus mengangkat isu dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dalam sidang umum PBB, hal ini menjadi indikator bahwa Pemerintah Indonesia belum menangani permasalahan dan mencari penyelesaian masalah yang terjadi di Papua,” ujar Pastor Neles.

Berdasarkan hasil riset LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Papua selama 4 tahun, yakni pada kurun waktu 2004-2008. Ada empat akar permasalahan yang terjadi tanah di Papua. Pertama, permasalahan pembangunan pada empat bidang pokokyaitupendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur.

Kedua, diskriminalisasi dan marjinalisasi terhadap orang asli Papua. Ketiga, kekerasan oleh negara terhadap orang asli Papua yang menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Keempat, adanya perbedaan interpretasi tentang sejarah masuknya Papua ke dalam Republik Indonesia. Keempat akar permasalahan inilah yang mesti diselesaikan oeh Pemerintah Indonesia di tanah Papua.

Tags:

Berita Terkait