Advokat Minta SK KMA tentang Sumpah Advokat Dicabut
Utama

Advokat Minta SK KMA tentang Sumpah Advokat Dicabut

Ketua MA diminta bertanggung jawab atas rusaknya sistem rekrutmen profesi advokat Indonesia ini.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Happy SP Sihombing dan Shalih Mangara Sitompul mendaftarkan permohonan uji materi SK KMA. Foto: ASH
Happy SP Sihombing dan Shalih Mangara Sitompul mendaftarkan permohonan uji materi SK KMA. Foto: ASH
Setelah sebelumnya diprotes Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), kini giliran sepuluh advokat dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) --di bawah pimpinan Fauzi Yusuf Hasibuan-- melayangkan uji materi Surat Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Kewenangan Pengadilan Tinggi (PT) Mengambil Sumpah Advokat dari Organisasi Manapun. Para advokat meminta Mahkamah Agung membatalkan surat keputusan itu.  

Mereka merasa dirugikan atas berlakunya SK KMA tertanggal 25 September 2015 ini yang merusak sistem pengangkatan advokat dan menurunnya kualitas profesi advokat. Hal ini disebabkan menjamurnya sejumlah organisasi advokat yang sebenarnya tidak berhak melaksanakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan Ujian Profesi Advokat (UPA). (Baca: Monopoli Penyelenggaraan PKPA Dipersoalkan ke MK).

“SK KMA ini berimplikasi menjamurnya organisasi advokat yang tidak berhak melakukan PKPA dan UPA yang dapat menurunnya kualitas advokat,” ujar salah satu Pemohon, Happy SP Sihombing usai mendaftarkan uji materi SK KMA ini di Gedung MA Jakarta, Rabu (26/10).

Selain Happy, tercatat sebagai Pemohon yakni Shalih Mangara Sitompul, Viator Harlen Sinaga, Sapriyanto Refa, Zul Armain Aziz, MMM Herman Sitompul, Suhendra A Hutabarat, Andris Basril, Bibianus Hengky Widhi Antoro, Riri Purbasari Dewi.

Happy mengeluhkan pasca terbitnya SK KMA sumpah advokat ini berimplikasi menjamurnya organisasi advokat baru di luar Peradi dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Seperti Perkumpulan Pengacara Indonesia (Perari), Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri). “Kedua organisasi advokat ini belum lama muncul di Situbondo dan Sidoarjo telah melakukan PKPA dan UPA, padahal sebenarnya mereka tidak berhak,” tudingnya.

Dia menilai munculnya beberapa organisasi advokat baru mengakibatkan pola pendidikan dan sistem ujian advokat menjadi tidak seragam. Padahal, merujuk putusan MK No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 hanya memberi kewenangan PERADI dan KAI untuk mengusulkan penyumpahan advokat ke PT setempat.

“Dalam putusan ini, tidak ada satu norma pun yang berwenang melaksanakan pendidikan advokat, pengangkatan (pengusulan) sumpah advokat selain PERADI dan KAI,” kata Happy mengingatkan.

Menurutnya, menjamurnya organisasi advokat yang bisa melaksanakan PKPA dan UPA juga mengakibatkan perbedaan kode etik, pengawasan, penjatuhan sanksi, sistem pendidikan, ujian advokat yang berpengaruh terhadap menurunnya kualitas profesi advokat. “Makanya, kita minta SK KMA sumpah advokat ini dibatalkan oleh Ketua MA karena bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan putusan MK. Kita juga minta Ketua MA tidak sebagai majelis dalam permohonan ini agar tidak konflik kepentingan,” harapnya.

Pemohon lainnya, Shalih Mangara Sitompul mengakui penyumpahan advokat merupakan kewenangan MA. Persoalannya, kata dia, pengangkatan sumpah advokat harus memenuhi syarat sarjana hukum, mengikuti PKPA dan UPA yang diselenggarakan organisasi advokat. “Para advokat ini produk organisasi advokat yang mana? Sesuai UU Advokat dan putusan MK yang dapat mengusulkan Peradi dan KAI. Nah, seharusnya usulan advokat dari produk organisasi advokat lain tidak boleh,” kata Shalih.

“Ketua MA seharusnya bertanggung jawab atas rusaknya sistem rekrutmen profesi advokat Indonesia ini. Kita berharap ikhtiar ini menegakkan kembali eksistensi organisasi advokat dapat terwujud sesuai UU Advokat.”

Terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur enggan mengomentari subtansi permohonan uji materi SK KMA sumpah advokat ini. Hanya saja, pendaftaran permohonan ini tetap akan diperiksa majelis MA. “Pendaftaran diterima bagian Direktorat Pratalak TUN MA. Selanjutnya, diteruskan kepada pimpinan MA dan Ketua Kamar TUN. Nantinya, Ketua Kamar TUN akan menetapkan tim pemeriksa (majelis, red),” kata Ridwan.

Sebelumnya, MA sendiri menganggap terbitnya SK KMA Sumpah Advokat ini sebagai solusi sementara mengatasi persoalan terpecah-pecahnya organisasi advokat, seperti IKADIN, KAI, termasuk Peradi sendiri yang terpecah menjadi tiga organisasi advokat. Sejak munculnya perpecahan organisasi advokat pada 2010 lalu, MA berupaya bertindak sesuai peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, banyak permohonan dari kalangan advokat di luar PERADI yang ingin disumpah, tetapi terhalang dengan wadah tunggal organisasi advokat yang diatur Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Awalnya, MA berpedoman pada sistem single bar yang dianut UU Advokat. Namun, melihat kondisinya, MA tidak bisa terus-menerus menghalangi hak warga negara (calon advokat) untuk menjalankan profesinya karena potensial melanggar UUD 1945.

Atas dasar itu, MA menerbitkan SKMA tentang penyumpahan advokat ini. MA mengklaim kebijakan MA ini telah sejalan dengan putusan MK terkait sumpah advokat yang tidak melihat asal organisasi advokat. Tetapi, sayangnya MK tidak “berani” membatalkan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat tentang single bar karena menganggap itu wilayah pembentuk UU. Karena itu, ada usulan persoalan ini mesti diselesaikan melalui legislative review dengan merevisi UU Advokat karena menyangkut pilihan multi bar system atau single bar system.
Tags:

Berita Terkait