Pemohon Minta PK Berkali-Kali Berlaku Terhadap Perkara Lain
Berita

Pemohon Minta PK Berkali-Kali Berlaku Terhadap Perkara Lain

Majelis akan memutuskan kelanjutan permohonan apakah berlanjut ke sidang pleno atau langsung diputuskan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sidang perbaikan pengujian Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait pengajuan peninjauan kembali (PK) hanya boleh diajukan sekali kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang permohonan yang diajukan Abd. Rahman C. DG Tompo ini menyampaikan dua poin penting perbaikan sesuai masukan dari Majelis Panel sebelumnya.

Pertama, format penulisan permohonan sesuai petunjuk dan standar (sistematika) penyusunan permohonan yang berlaku di MK. Kedua, bagian alasan-alasan pengujian yang sebelumnya ada 22 poin dipadatkan menjadi 9 poin alasan permohonan. Ketiga, bagian petitum yang sebelumnya 4 poin dipadatkan menjadi 3 poin.

“Inti petitumnya pengajuan PK lebih dari sekali berlaku tidak hanya berlaku bagi perkara pidana, tetapi berlaku juga bagi perkara perdata dan perkara-perkara lain. Ini agar tidak ada perbedaan,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Saharuddin Daming dalam sidang perbaikan yang diketuai Maria Farida Indrati di Gedung MK, Kamis (05/1).

Pasal 66 ayat (1) UU MA menyebutkan Permohonan PK dapat diajukan hanya 1 kali. Sedangkan, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan PK. (Baca juga: Alasan Peninjauan Kembali Boleh Berkali-Kali).

Saharuddin menerangkan sesuai putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 terkait Pasal 268 ayat (3) KUHAP membolehkan pengajuan PK dapat diajukan berkali-kali untuk perkara pidana. Sementara perkara perdata seperti kasus yang dialami Pemohon tidak terjangkau sama sekali oleh putusan MK tersebut. Padahal, setiap putusan MK ada sebuah prinsip bahwa ketika norma UU tertentu dihapus atau dimaknai inkonstitusional bersyarat otomatis berlaku bagi norma di UU lain. “Prinsip ini perlu dikonkritkan lagi, karena belum diatur dalam UU MK,” kata Saharuddin.

Aturan pembatasan pengajuan PK hanya sekali itu kemudian dikukuhkan melalui SEMANo. 7 Tahun 2014, sehingga MA masih berpegang terhadap kedua pasal itu. Menurutnya, ada inkonsistensi antara Pasal 66 ayat (1) UU MA, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Ketidakkonsistenan ini melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil. (Baca juga: Putusan MK tentang PK Potensial Tidak Dipatuhi Jaksa).

Akibatnya, Pemohon terhalang mengajukan PK lebih dari sekali dalam perkara perdata meski terdapat keadaan baru (novum) demi keadilan. Dia menceritakan perkara sengketa tanah kliennya dikalahkan di tingkat peninjauan kembali (PK). Alhasil, kliennya harus merelakan tanah miliknya dimiliki orang lain melalui putusan PK tersebut.

“Kami ingin menuntut keadilan di MK, karena kasus (perdata) klien kami di MA sudah selesai, kecuali untuk kasus pidana mungkin bisa,” katanya.

Dia beralasan permohonan ini tidak dimaksud mempertentangkan putusan MK dengan hukum. Hanya saja, upaya hukum permohonan PK kedua yang diajukan penuh kesantunan karena telah terjadi suatu kekeliruan atau kekhilafan nyata dalam putusan PK sebelumnya.

Ia mengakui, dua pasal yang dimohonkan pengujian sudah pernah diputus melalui putusan MK No. 16/PUU-VIII/2010 dan putusan MK No. 64/PUU-VIII/2010. Hanya saja, kedua putusan ini tidak mendasarkan batu uji Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945, dimana materi pokoknya berupa pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencari dan mendapatkan keadilan, sehingga permohonan ini tidak nebis in idem. (Baca juga: MK Kembali Buat Putusan Penting).

Ketua Majelis Panel Maria Farida Indrati mengatakan perbaikan permohonan berikut lampiran delapan bukti sudah dianggap cukup. Selanjutnya, Majelis akan memutuskan kelanjutan permohonan apakah berlanjut ke sidang pleno atau langsung diputuskan. “Permohonan ini akan disampaikan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), bagaimana kelanjutan permohonan ini?”
Tags:

Berita Terkait