Ini Poin Penting PP Penyertaan Modal Negara Bagi BUMN
Berita

Ini Poin Penting PP Penyertaan Modal Negara Bagi BUMN

Kini BUMN bisa membuat holding company dan tidak terikat mekanisme politis DPR untuk ekspansi. Pengamat menilai PP ini bertentangan dengan UU Kekayaan Negara.

Oleh:
CR21/ANT
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, salah satu kebijakan Pemerintah selama ini adalah mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke dalam Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara. Semua dana berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tertib administrasi dan tertib hukum dalam setiap Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas, berikut segala perubahannya menjadi sangat penting. Hal ini karena modal negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas merupakan bagian dari kekayaan negara yang yang harus dipertanggungjawabkan pengelolaannya.

Sejalan dengan makin besarnya peran BUMN sebagai instrumen Pemerintah dalam program pembangunan dan untuk menghadapi perkembangan perekonomian global seperti pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN, Pemerintah telah berupaya melakukan peningkatan nilai, penguatan daya saing, perluasan jaringan usaha, dan kemandirian pengelolaan BUMN. (Baca Juga: Kini, Penyertaan Modal Negara dari BUMN ke BUMN Bisa Dilakukan Tanpa Melalui APBN)

Untuk kepentingan tersebut, di akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken PP No.72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas. Tujuannya, untuk menguatkan kelembagaan dan mekanisme kerja BUMN.

Salah satu poin penting dalam PP ini adalah pengaturan pembentukan perusahaan induk BUMN. Dengan pengaturan kembali mengenai Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pengalihan saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, BUMN dapat melakukan ekspansi lebih leluasa dengan membentuk holding company. (Baca Juga: KPPU: Holding BUMN Diberikan Konsesi Memonopoli)

Dalam pengalihan saham tersebut pun tidak perlu menggunakan mekanisme APBN yang cenderung lama karena harus melalui persetujuan DPR. Mekanisme APBN yang panjang dalam ekspansi bisnis tentu akan menjadi hambatan. Hal ini diatur dalam pasal sisipan, yaitu Pasal 2A dan perubahan pada penjelasan Pasal 9 ayat 1 huruf d.

Ketua Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Indra Safitri, mengatakan ketentuan baru ini dilihat dari sudut pandang kemudahan transaksi bisnis lebih memudahkan, namun memang dari segi pengawasan BUMN sebagai kekayaan negara akan berhadapan dengan kepentingan politik di DPR.

“Selama ini kadang ada aspek ketentuan (hukum) yang mengatur tentang keuangan negara, tentang kepemilikan (BUMN) yang kontradiktif dengan upaya untuk menciptakan sebuah usaha perkembangan usaha, penambahan modal, transaksi dan lain-lain,” katanya. (Baca Juga: Alasan Serikat Pekerja PGN Tolak Holding Migas)

“Kalau BUMN ingin didorong menjadi perusahaan yang besar dan berkembang, sudah saatnya kita mendorong (pengelolaannya) lebih corporate seperti perusahaan swasta,” tambah Indra.

Sebelumnya, tidak ada payung hukum untuk memanfaatkan saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagai salah satu komponen APBN yang menjadi sumber Penyertaan Modal Negara kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya. Pada PP yang sama juga dihapuskan keberadaan proyek-proyek yang dibiayai APBN sebagai sumber Penyertaan Modal Negara digantikan dengan barang milik negara.

Barang Milik Negara sendiri diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 yang digantikan dengan Peraturan Menteri Keuangan NOMOR 181/PMK.06/2016 Tahun 2016 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara, sebagai semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Di Uji ke MA
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai PP Nomor 72 Tahun 2016, yang baru diterbitkan, bertentangan dengan UU. "PP ini bertentangan dengan UU, sehingga mesti di-judicial review ke Mahkamah Agung dalam 90 hari sejak pemberlakuannya," katanya.

Menurut dia, PP tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas yang diterbitkan akhir Desember 2016 itu bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Kekayaan Negara.

Dalam Pasal 2A PP 72/2016 disebutkan, penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas kepada BUMN atau perseroan terbatas lain dilakukan pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme APBN.

Artinya, lanjutnya, ketika ada perpindahan kepemilikan saham yang dimiliki negara di BUMN ke perusahaan lain ataupun pengalihan saham melalui penyertaan modal negara (PMN), maka tidak perlu melalui mekanisme APBN.

Dengan demikian, pengalihan saham melalui PMN itu bisa dilakukan pemerintah tanpa lewat DPR. "Aturan ini berbahaya, sebab saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan tanpa lewat DPR. Ini seperti melego Indosat yang ketika itu tanpa persetujuan DPR," katanya.

Sementara, tambah Agus, UU 17/2003 tentang Kekayaan Negara mengamanatkan, terhadap segala saham yang masuk dalam kekayaan negara, maka pengambilalihan ataupun perubahan status kepemilikannya harus persetujuan DPR. "Sesuai UU 17/2003, bila dari APBN, maka harus melalui persetujuan DPR," katanya.

Dengan demikian, menurut Agus, PP 72/2016 yang terbit akhir Desember 2016 tersebut bertentangan dengan UU dan secara substansi menjadi berbahaya, karena membuka peluang pengalihan kekayaan negara dan mengubah BUMN menjadi swasta tanpa lewat DPR.

Tags:

Berita Terkait