Telah Terbit, Permen ESDM Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik
Berita

Telah Terbit, Permen ESDM Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik

Mengatur pola harga patokan tertinggi dan mekanisme pengadaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power).

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Kementerian ESDM. Foto: RES
Kementerian ESDM. Foto: RES
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power). Permen tersebut disosialisasikan pada coffee morning Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan yang dibuka oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jarman.

“Permen ESDM No. 19 Tahun 2017 mengatur pola harga patokan tertinggi dan mekanisme pengadaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power). Permen ini diharapkan dapat menjaga Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan Tenaga Listrik setempat agar lebih efektif dan efisien, sehingga tarif tenaga listrik dapat lebih kompetitif,” jelas Jarman, seperti tertulis dalam rilis, Jumat (3/3).

Dalam Permen tersebut diatur acuan harga pembelian listrik PLTU Mulut Tambang yaitu: 1. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75% BPP Pembangkitan setempat; 2. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada 75% BPP Pembangkitan nasional; 3. Harga pembelian tenaga listrik ditetapkan dengan asumsi faktor kapasitas pembangkit sebesar 80%. (Baca Juga: 3 Permen ESDM Terkait Jual Beli Listrik Terbit, Ini Detailnya)

Selain itu, juga diatur Harga Pembelian Liistrik PLTU Non Mulut Tambang dengan kapasitas > 100 MW yaitu:  1. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan setempat; 2. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan nasional.

Sedangkan untuk harga pembelian listrik Non Mulut Tambang untuk kapasitas ≤ 100 MW, diatur sebagai berikut: 1. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih rendah dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga patokan tertinggi mengacu pada BPP Pembangkitan setempat. 2. Jika BPP Pembangkitan setempat lebih tinggi dari BPP Pembangkitan Nasional, maka harga berdasarkan lelang atau mekanisme business to business. (Baca Juga: Begini Isi Perpres Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan)

Selain mengatur mengenai acuan Harga Pembelian Listrik di PLTU Mulut Tambang dan Non Mulut Tambang, Permen ini juga mengatur pola Harga Patokan Tertinggi (HPT) dalam pengadaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan kelebihan tenaga listrik (excess power). Penggunaan listrik Excess Power untuk memperkuat sistem kelistrikan setempat dapat dilakukan apabila pasokan daya kurang atau untuk menurunkan BPP Pembangkit di sistem ketenagalistrikan setempat.

Harga pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power) paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. Sehingga dapat meningkatkan peran Captive Power dalam menjaga ketersediaan daya listrik pada sistem ketenagalistrikan setempat. (Baca Juga: MK Perkuat Bisnis Penyediaan Tenaga Listik oleh PLN)

Sosialisasi Permen ESDM No.1 Tahun 2017
Dalam kesempatan yang sama, Jarman juga mensosialisasikan Permen ESDM No. 1 tahun 2017 tentang Kebijakan Operasi Paralel Pembangkit Tenaga Listrik dengan Jaringan Tenaga Listrik PT PLN (Persero). Peraturan ini diterbitkan untuk mengatur konsumen listrik (biasanya industri) yang memiliki dan mengoperasikan pembangkit sendiri dalam rangka menjaga operasionalnya melalui interkoneksi (operasi paralel) dengan sistem PT PLN. 

Selama ini pengenaan biaya paralel yang diatur oleh PT PLN dirasakan masih terlalu tinggi oleh konsumen yang melakukan operasi paralel. Dengan adanya Permen No. 1 Tahun 2017 ini, biaya untuk operasi paralel khususnya biaya kapasitas, dapat diturunkan sekitar 25%-30% setiap bulannya. Efisiensi biaya diperoleh dengan penggunaan daya mampu netto pembangkit (MW) sebagai basis perhitungan pada formula saat ini, dibandingkan penggunaan kapasitas daya terpasang (MVA) pada formula sebelumnya.

Operasi paralel pembangkit dapat dilakukan sebagai cadangan (back-up) dan/atau tambahan (suplemen) untuk operasional pembangkit sendiri yang disambungkan pada jaringan PT PLN. Peraturan ini juga mengatur mekanisme operasi paralel, yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan kapasitas sistem PT PLN setempat dan mengacu pada grid code atau distribution code sebagai pembangkit listrik. 

Untuk mendukung pelaksanaan operasi paralel, PT PLN wajib menyusun petunjuk teknis dan standar perjanjian untuk operasi paralel dan menyampaikan laporan pelaksanaannya secara berkala kepada Dirjen Ketenagalistrikan.

Tags:

Berita Terkait