Ketika PP Pengupahan Masih Dipersoalkan
Berita

Ketika PP Pengupahan Masih Dipersoalkan

Karena isinya dinilai tidak sesuai dengan UU Ketenegakerjaan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Demo buruh.  Foto: RES
Demo buruh. Foto: RES
Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan masih terus dipersoalkan kalangan buruh meski MA sudah menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi PP ini November tahun lalu. Hingga kini, aturan turunan dari UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan masih terus dipersoalkan terutama dari kalangan buruh.

Dalam sebuah diskusi di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Komplek Gedung DPD Jakarta, Selasa (7/2), persoalan aturan pengupahan ini menjadi topik diskusi sejumlah kalangan. Salah satunya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Siti Hajati Hoesin.

Dia menjelaskan terbitnya PP Pengupahan merupakan aturan pelaksana Pasal 97 UU Ketenagakerjaan. Dia menilai secara umum PP Pengupahan memang merugikan kalangan buruh. Oleh sebab itu, pemerintah mesti segera bertindak dengan mengubah PP Pengupahan ini.

Pasal 97 UU Ketenagakerjaan menyebutkan, “Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Menurutnya, fakta di lapangan setelah berlakunya PP tersebut justru banyak yang tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Baginya, ketidaksesuaian PP Pengupahan ini dengan aturan diatasnya itulah bakal berdampak buruk terhadap nominal pendapatan kalangan buruh.

Meski meminta pemerintah mengubah PP Pengupahan, namun tidak dilakukan secara menyeluruh. Menurutnya hanya pasal-pasal tertentu saja yang diubah agar kalangan buruh tidak pula dirugikan dengan aturan yang berdampak terhadap besaran pendapatan. Dia menganalogikan rusaknya genteng yang rusak, maka tidak semua genteng harus diperbaiki. Hanya genteng rumah yang rusak saja yang ubah.

“Jadi memang PP ini harus diuubah, namun tidak semua,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung DPD Jakarta, Selasa (7/3/2017).

Anggota Komite III DPD Abdul Aziz berpandangan PP tersebut telah lama dinanti kalangan buruh. Sayangnya, fakta di lapangan setelah terbitnya peraturan tersebut justru bertolak belakang dengan UU Ketenagakerjaan. Akibatnya, harapan kalangan buruh terhadap upah yang layak masih jauh dari kenyataan.

“Namun kenyataanya seperti ini (bertentangan, red),” ujarnya di tempat yang sama. Baca Juga: Setelah Putusan NO, Buruh Tetap Berniat Ajukan Uji Materi PP Pengupahan  

Aziz mengusulkan agar DPD menggunakan hak bertanya kepada pemerintah terkait substansi PP tersebut. Terlebih, MA sudah memutus tidak dapat menerima (niet ontvankelijk verklaraad (NO) terhadap pengujian uii materi PP Pengupahan pada 24 November 2016 lalu.

Sebelumnya, permohonan uji materi ini diajukan oleh empat pemohon yang putusannya tidak dapat diterima. Keempat pemohon itu adalah Lembaga Pembelaan Hukum Advokasi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Organda, dan Ketua Dewan Pengurus Kantor Dagang dan Industri Kabupaten Bangkalan.

Demi memperjelas proses pembentukan PP tersebut perlu dipertanyakan langsung kepada pihak pemerintahan di bawah kepemimpinan Joko Widodo.“Kita seharusnya menggunakan hak bertanya terkait terbitnya PP ini. Karena PP ini menjadi problem buruh secara nasional,” kata Aziz.

Pakar hukum perburuhan Andri Yurikosari menggambarkan kondisi sebelum dan sesudah berlakunya PP No. 78 Tahun 2015. Menurutnya, sebelum PP Pengupahan terbit, mekanisme penetapan kenaikan upah minimum diukur dengan menggunakan rumusan yang ditentukan melalui tiga faktor. Yakni upah minimum tahun berjalan, inflasi, dan produk domestik bruto (PDB) nasional.

Sementara setelah terbitnya PP Pengupahan justru variable kebutuhan hidup layak (KHL) tidak digunakan. Menurutnya, sebelum terbitnya PP Pengupahan, mekanisme penetapan upah minimum tiap tahunnya dilaksanakan melalui mekanisme survey KHL. Nah, dengan PP Pengupahan ini, komponen KHL bakal ditinjau dalam kurun waktu lima tahun sebagaimana tertuang dalam Pasal 43 PP Pengupahan tersebut.  

Pasal 43 ayat (3) PP Pengupahan menyebutkan, “Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas beberapa komponen. Sedangkan ayat (4) menyebutkan, “Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas beberapa jenis kebutuhan hidup. Kemudian ayat (5) menyebutkan, “Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditinjau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.”

Tak hanya itu, PP Pengupahan pun masih diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Tags:

Berita Terkait