Pemerintah Diminta Antisipasi Dampak Permen KP 56/2014
Berita

Pemerintah Diminta Antisipasi Dampak Permen KP 56/2014

Perlu tahu dampak terhadap perusahaan dan para nelayan. Kalau hanya sekadar menerapkan aturan kemudian merugikan para stakeholder di sektor perikanan, itu sama saja ‘mematikan’ mereka.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Keterangan Foto: Anggota DPR RI Komisi IV, Ichsan Firdaus (berdiri) saat berbicara dalam seminar nasional tentang Illegal Fishing dan Kedaulatan Laut. Foto: DAN
Keterangan Foto: Anggota DPR RI Komisi IV, Ichsan Firdaus (berdiri) saat berbicara dalam seminar nasional tentang Illegal Fishing dan Kedaulatan Laut. Foto: DAN
30 Juni 2017 merupakan batas akhir toleransi yang diberikan Pemerintah terhadap nelayan yang masih menggunakan centrang sebagai alat tangkap konvesional. Melihat respon nelayan di sejumlah daerah yang sempat menolak pemberlakuan kebijakan tersebut, Anggota DPR RI dari Komisi IV mendorong Pemerintah untuk bisa mengantisipasi munculnya persoalan sosial di masyarakat mengingat rencana kementrian Kelautan dan Perikanan untuk memberikan sejumlah alat tangkap sebagai pengganti centrang masih jauh dari target.

“Yang tadi saya sampaikan, ada 4000 kapal yang sudah disetujui DPR untuk mengganti alat tangkap yang ada. Sekarang yang terealisasi masih 1.700an kapal, dalam waktu 4 bulan sanggup tidak pemerintah melakukan hal itu,”papar Anggota DPR RI dari Komisi IV, Ichsan Firdaus, beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Menurut Ichsan, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan sebenarnya sudah menyiapkan langkah-langkah menyusul dikeluarkannya kebijakan moratorium penggunaan alat tangkap konvensional seperti cantrang. Namun yang menjadi persoalannya adalah pelaksanaan langkah-langkah tersebut yang terkesan sangat lambat.

“Saya melihat sudah ada koordinasi (nelayan) sama Pemerintah, misalnya manajemen sertifikasi nelayan, manajemen alat tangkap, tapi itu lambat dilakukan oleh Pemerintah,” ujarnya.

Capaian Pemerintah dalam menyediakan kapal pengganti cantrang baru mencapai angka 15% dari target 4000 kapal. Selain itu, sosialisasi pengunaan alat tangkap yang disediakan oleh pemerintah yang menurut Ichsan belum maksimal. Hal ini mengingat adanya sejumlah nelayan yang belum bisa menggunakan alat tangkap yang disediakan oleh Pemerintah. “Bagaimana penggunaan alat tangkap yang baru, itu kan tidak semua nelayan mampu mengoperasikan itu,” terang Ichsan.

Ichsan menghkawatirkan efektifitas pelarangan terhadap penggunaan alat tangkap yang selama ini telah digunakan oleh para nelayan. Hal ini mengingat telah banyak muncul penolakan terhadap kebijakan Pemerintah. Aksi penolakan nelayan di Rembang dan sejumlah daerah pesisir pulau Jawa dan Sumatera bisa menjadi contoh agar Pemerintah bisa mengantisipasi potensi yang sama apabila batas toleransi moratorium penggunaan alat tangkap lama berkahir.

Selanjutnya,Ichsan menyayangkan kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menurutnya tidak mendengar kepentingan para pihak yang selama ini bergerak di indusri perikanan. “Kalau kita mau buat peraturan menteri, kita juga harus mendengar para stake holder nelayan, pengusaha ikan, kemudian orang-orang yang terlibat di dalam dunia perikanan,”ujarnya.

Seringkali Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan dikeluarkan tanpa terlebih dahulu melakukan proses diskusi dengan para pihak. Hal ini yang memunculkan kegelisahan dan kekagetan nelayan yang belum siap terhadap perubahan yang muncul akibat penerapan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan.

“Yang harus kita perhatikan adalah, pada saat kita memberlakukan aturan itu, kita harus tahu dampaknya terhadap perusahaan dan para nelayan. Kalau kita hanya sekedar menerapkan aturan kemudian merugikan para stakeholder di sektor perikanan, itu sama saja mematikan mereka,” ujar Ichsan.

Dampak Kebijakan Lain di Sektor Perikanan
Menteri Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Permen KP No.56Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI. Permen ini lahir dikarenakan 5.329 kapal ukuran di atas 30 gross ton (GT), sebanyak 4.000 nya adalah kapal milik perusahaan Indonesia. Sedangkan 1.300 adalah kapal eks asing yang dialihkan kepemilikannya ke swasta nasional.

Sebanyak 70% dari kapal tersebut tidak punya NPWP yang benar dan 40% perusahaannya tidak terdaftar. Selain itu, Pemerintah mencoba untuk menghindari berbagai aktivitas pelanggaran lainnya, seperti penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM), narkoba dan barang-barang lainnya.

Dampak positif yang dirasakan dari dikeluarkannya Permen ini adalah, 1) tegaknya kedaulatan laut dari upaya ocean grabbing (perampasan ruang laut dan SDI); 2) meningkatnya kapasitas produksi (dalam jangka panjang). Data KKP tahun 2016 mencatat, produksi di 12 Pelabuhan basis kapal asing “menurun” (482 ributon pada tahun 2014 dan 289 ributon pada tahun 2015),namun produksi di 10 pelabuhan basis kapal lokal “meningkat” (83 ributon pada tahun 2014 dan 146 ributon pada tahun 2015); berkurangnya kerugian ekonomi akibat praktek illegal fishing yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun per tahun.

Selanjutnya, dampak negatif dari pemberlakuan Permen KP No.56 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
Ekspor ikan menurun
•     Total eskpor turun 15 % dari 4,64 miliar dolar pada 2014 menjadi 3,94 miliar dolar AS pada 2015 dan terus menurun sampai Juni 2016 yang baru mencapai 1, 9 juta dolar AS. Pada akhir tahun 2016, ekspor perikanan mengalami kenaikan sebesar 4,96%. (BPS, diolah oleh Ditjen PDSPKP, 2016).
•     Namun, secara umum turun jika dibandingkan tahun 2014. Artinya dampak kebijakan KKP dalam 2 tahun terakhir (2015-2016) berpengaruh nyata terhadap penurunan ekspor perikanan.

Memukul industri pengolahan ikan
•     Di Pulau Bitung:Kebutuhan per hari bahan baku ikan mencapai 100 ton, tetapi saat ini hanya bisa dipenuhi sekitar 20 ton. Produksi Januari-Februari 2016 hanya 7% dari kapasitas terpasang.
•     Jumlah tangkapan ikan sepanjang 2015 anjlok 59,38%. Jumlah pendaratan ikan pada 2014 mencapai 111.315,53 ton, sedangkan pada tahun 2015 hanya 45.208,52 ton.
•     1.430 buah kapal yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung tidak melaut. (DKP Sulut, Maret 2016)
•     Di Ambon:Produksi hanya 30% dari kapasitas. Dijual produksi berhenti sama sekali.
•     Total kapasitas produksi industri pengolahan ikan dalam negeri mencapai 360.000 ton, sementara produksi pada tahun 2015 hanya mencapai 145.000 ton per tahun. Utilitas industri pengolahan ikan hanya tersisa 40% (Kemenperin, 2015).

Bertambahnya pengangguran akibat ditutupnya industri pengolahan ikan
•     Sulut: ada 3.200 anak buah kapal (ABK) dirumahkan dan Sebanyak 10.800 karyawan menganggur akibat matinya industri pengolahan ikan. Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Sulawesi Utara meningkat hampir 2%.
•     Maluku: Terdapat 10.800 orang (84%) yang dirumahkan (PHK) dari total 12.848 orang yang terdata sebagai pekerja di industri pengolahan ikan pada 2014. Tingkat pengangguran terbuka Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara, meningkat 2%, sedangkan tingkat kemiskinan di kedua Kabupaten naik 1%.

 
Satuan Tugas 115
Lebih lanjut, Ichsan menyebutkan terdapat sejumlah problem hukum dalam Perpres No. 115 Tahun 2015 tentang Satgas Pemberantasan Illegal Fishing. Menurut Ichsan, Perpres ini harus dilihat dalam konteks legal formalnya. Karena ada potensi keberadaan Perpres No. 115 Tahun 2015 bertentangan dengan sejumlah undang-undang yang ada.

Dalam hal kewenangan memberikan komando keada TNI Angkatan Laut (AL), menurut Ichsan haruslah berada pada Panglima TNI, bukan komandan Satgas 115 yang dalam hal ini adalah Menteri Kelautan dan Perikanan.

kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Komandan Satgas bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Hal ini dikarenakan penggunaan kekuatan TNI hanya berada pada Panglima TNI yang bertanggung jawab kepada Presiden.

Kemudian, dalam hal pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan bidang perikanan, UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan mengatur bahwa pengawasan perikanan dilakukan oleh Pengawas Perikanan. Selanjutnya, yang menjalankan tugas tersbut adalah tugas dan fungsi yang telah dijalankan Direktorat Jendral Pengawasan Sumber Daya Kelautan & Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan & Perikanan RI, bukan Satgas 115.

“Kalau dari DPR memandangnya dari aspek legal fomalnya, bahwa ada potensi pelanggaran.” pungkas Ichsan.

Tags:

Berita Terkait