Mengawal Sengketa Pilkada yang Berintegritas
Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:

Mengawal Sengketa Pilkada yang Berintegritas

Penyelenggaraan sidang sengketa pilkada kali ini diharapkan lebih baik, bersih dari segala perilaku korupsi, dan intervensi yang dapat mempengaruhi integritas MK.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Suasana di depan gedung MK saat sengketa pemilu. Foto: RES
Suasana di depan gedung MK saat sengketa pemilu. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang pendahuluan terhadap 50 permohonan perselisihan (sengketa) hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2017 dari sekitar  45 kabupaten/kota dan 4 provinsi pada 16-22 Maret lalu. Sebagian besar permohonan “rontok” saat pembacaan putusan dismissal pada 3-4 April. Ada 40 permohonan dinyatakan tidak diterima dengan dalih melewati tenggang waktu permohonan, tidak memenuhi syarat selisih suara maksimal 2 persen.

Ada 2 permohonan yang diputus pemungutan suara ulang (PSU) di 18 distrik Pilkada Kabupaten Tolikara dan 6 distrik Pilkada Kabupaten Puncak Jaya. Satu permohonan diputus rekapitulasi penghitungan suara ulang di Pilkada Kabupaten Intan Jaya. Praktis, hanya tersisa 7 permohonan yang berlanjut ke sidang pembuktian yakni Pilkada Kabupaten Maybrat, Gayo Lues, Bombana, Takalar, Kota Yogyakarta, Salatiga, dan Pilkada Provinsi Sulawesi Barat. Ada 3 permohonan susulan dari pilkada Kabupaten Kepulauan Yapen yang baru terdaftar pada 30 Maret 2017.                

Proses pelaksanaan sidang sengketa pilkada serentak kali kedua ini memang tidak jauh berbeda dengan sengketa pilkada serentak pertama pada akhir tahun 2015 lalu. Bedanya, hanya pengumuman pendaftaran sejak KPUD mengumumkan penetapan hasil penghitungan suara dan jangka waktu penyelesaian. Awalnya, pendaftaran 3x24 jam menjadi 3 hari kerja dan penyelesaian sengketa pilkada 45 hari menjadi maksimal 45 hari kerja. Karena itu, sengketa pilkada kali ini diperkirakan selesai paling lambat 19 Mei 2017. Baca Juga: Jangka Waktu Penyelesaian Pilkada 45 Hari Kerja

Sengketa Pilkada 2017
Jumlah PermohonanJumlah DaerahKeterangan
50 permohonan perselisihan hasil pilkada 49 daerah (45 Kabupaten/Kota dan 4 provinsi)    ·      Saat putusan dismissal 40 permohonan dinyatakan tidak diterima.
   ·      2 permohonan diputus pemungutan suara ulang.
   ·      1 permohonan diputus penghitungan suara ulang.
   ·      7 permohonan berlanjut ke sidang pembuktian.
3 permohonan perselisihan hasil pilkada 1 daerah (Kabupaten  Kepulauan Yapen, Papua)   ·      Baru terdaftar 30 Maret 2017.

Hingar-bingar sidang sengketa pilkada serentak kali ini agak berbeda dengan sengketa pilkada serentak pertama. Ini disebabkan jumlah daerah yang menggelar pilkada serentak jauh lebih sedikit ketimbang pilkada serentak pertama yakni 264 daerah. Berdasarkan catatan hukumonline, permohonan sengketa pilkada pertama, MK telah menerima 151 permohonan sengketa pilkada dari 132 daerah yang sebagian besar diwakili sekitar 1.040 pengacara dari ratusan firma hukum. Rinciannya, 128 kabupaten, 12 kota, 7 provinsi, dan 2 pasangan calon tunggal dari kabupaten Tasikmalaya dan Boven Digul yang digugat pemantau pilkada terakreditasi.

Secara statistik, ada 5 permohonan dikabulkan penarikan kembali; 34 permohonan telah melewati tenggang waktu 3 x 24 jam; 94 permohonan lain tidak memenuhi syarat selisih perolehan suara maksimal 2 persen; 8 permohonan tidak diterima dengan alasan lain; 3 permohonan dinyatakan ditolak. Khusus, 5 permohonan diputus PSU yakni Pilkada Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Mamberamo Raya, Teluk Bintuni, Muna, Kepulauan Sula.

Sengketa Pilkada 2015
Jumlah PermohonanJumlah DaerahKeterangan
151 permohonan sengketa pilkada 132 daerah (128 kabupaten, 12 kota, 7 provinsi, dan 2 pasangan calon tunggal)   ·         permohonan dikabulkan penarikan kembali
  ·         34 permohonan telah melewati tenggang waktu 3 x 24 jam
   ·         94 permohonan lain tidak memenuhi syarat selisih perolehan suara maksimal 2 persen;
   ·         8 permohonan tidak diterima dengan alasan lain
   ·         3 permohonan dinyatakan ditolak
   ·        5 permohonan diputus pemungutan suara ulang

Meski tak seramai sidang sengketa pilkada serentak pertama, ada sekitar 526 pengacara dari 103 firma hukum yang berkiprah di sengketa pilkada serentak kedua ini baik posisi membela pemohon, termohon (KPUD), maupun pihak terkait (pemenang pilkada) termasuk tim pengacara dari partai politik. Seperti, firma hukum Ihza & Ihza Law Firm, menangani 3 kasus sengketa pilkada yakni Kabupaten Takalar, Pidie dan Provinsi Sulawesi Barat dan firma hukum lain yang berkedudukan di Jakarta dan daerah. Tentu, ini menjadi “berkah” tersendiri bagi para advokat yang bernaung di bawah firma hukum tersebut. 

Seperti diketahui, kewenangan mengadili dan memutus sengketa pilkada oleh MK ini hanyalah bersifat sementara. Sebab, sesuai Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada dalam Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dihapus. Putusan itu mengamanatkan pembuat UU untuk membentuk peradilan khusus sengketa pilkada.

Lalu, putusan ini diadopsi Pasal 157 ayat (1-3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan untuk sementara waktu penanganan sengketa pilkada masih ditangani MK. Namun, sebelum pilkada serentak nasional badan peradilan khusus sengketa hasil pilkada ini harus sudah terbentuk diperkirakan paling lambat tahun 2024. Namun, hingga kini konsep dan model lembaga khusus ini belum jelas. Baca Juga: MK Hapus Kewenangan Sengketa Pemilukada

Pasca terbitnya putusan MK itu, Mahkamah Agung (MA) juga menolak tegas apabila penyelesaian sengketa pilkada dikembalikan lagi ke lembaga peradilan pasca ditandatangani kesepahaman MK dan MA terkait pengalihan kewenangan ini ke MK pada 2008 silam. Mereka kerap beralasan penyelesaian sengketa pilkada justru akan menjadi beban yang dapat mengganggu tugas pokok kedua lembaga peradilan itu. 

Belakangan nampaknya, MK sendiri “trauma” mengadili sengketa pilkada – sebelum terbitnya putusan itu disebut pemilukada - yang membuat MK sempat jatuh ke titik nadir pasca kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam penanganan sejumlah perkara sengketa pilkada pada September 2013 lalu. Maklum, selama ini penanganan sengketa pemilukada/pilkada oleh MK memang syarat judicial corruption atau identik dengan perebutan kekuasaan dan uang dari pihak-pihak berkepentingan. Baca Juga: Waspadai Judicial Corruption dalam Sengketa Pemilukada

Apalagi, MK kembali tercoreng pasca tertangkapnya mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK lantaran diduga menerima suap dari pihak berkepentingan terkait bocornya draft putusan pengujian UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Belum lama ini pula, berkas permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Dogiyai Papua dinyatakan hilang yang mendorong MK memecat 4 pegawainya.

Namun, belajar dari pelaksanaan sengketa pilkada serentak pertama, MK terbilang sukses. Sebab, tidak ditemukan kendala teknis dan nonteknis yang berarti terutama pihak-pihak yang berupaya mempengaruhi kredibilitas dan integritas MK dalam menangani sengketa pilkada. Hal ini tak lepas dari pengawasan Dewan Etik MK dan elemen masyarakat termasuk media, sehingga membuat MK bekerja lebih imparsial, independen, dan lebih optimal. Baca Juga: MK Klaim Sidang Sengketa Pilkada 2015 Bersih dari Intervensi

Meski begitu, MK tetap waspada terhadap setiap “serangan” oknum-oknum tertentu yang “haus” kekuasaan di daerah. Meski tidak ada data pasti, pengalaman penanganan perkara sengketa pilkada di MK, tak jarang calon kepala daerah tersandung kasus hukum baik saat maupun setelah gugatan hasil pemilukada/pilkada. Apalagi, UU Pilkada masih membolehkan calon kepala daerah ikut pilkada termasuk menggugat hasil pilkada meski berstatus tersangka atau terdakwa, kecuali berstatus terpidana berdasarkan putusan inkracht. Baca Juga: Status Tersangka Tak Otomatis Gugurkan Calon Kepala Daerah, Benarkah? 

Sebut saja, kasus calon Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih yang telah divonis bersalah lantaran terbukti menyuap mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas pada Oktober 2013 lalu dan penanganan sengketa pilkada lain. Meski dianggap sebagai bupati terpilih, pelantikan Hambit sempat menjadi polemik pasca dirinya ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Baca Juga: Tersangka Penyuap Akil Menangi Sengketa Pemilukada

Demikian pula, kasus mantan Walikota Palembang Romi Herton yang terbukti menyuap Akil saat menggugat hasil pemilukada Kota Palembang pada 2013. Romi memberikan uang miliaran rupiah kepada Akil melalui Muchtar Efendi secara bertahap agar MK membatalkan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada Kota Palembang 2013 di 5 Tempat Pemungutan Suara.

Pada 20 Mei 2013, Majelis Hakim MK yang diketuai Akil memutus pemilukada Kota Palembang sesuai permohonan Romi. Majelis membatalkan hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU Kota Palembang sepanjang perolehan suara pasangan calon di lima TPS. Perolehan suara pasangan calon nomor urut dua, Romi Herton-Harno Joyo berubah menjadi 316.919 suara. Sedangkan Sarimuda-Nelly berkurang menjadi 316.896 suara. Alhasil, pasangan Romi dan Harno Joyo ditetapkan pemenang Pilkada Kota Palembang.

Untuk itu, sengketa pilkada serentak 2017 ini diharapkan dapat mengulang sukses ketika sengketa pilkada serentak pertama. Artinya, penyelenggaraan sidang sengketa pilkada kali ini harus lebih baik, bersih dari segala perilaku korupsi dan intervensi yang dapat mempengaruhi integritas MK. Jangan sampai marwah, citra, kewibawaan Mahkamah kembali tercoreng dengan perilaku koruptif. Apalagi, MK telah berupaya dan komit menjaga integritas lembaga dengan meminta masukan sejumlah tokoh pasca mencuatnya kasus Patrialis Akbar. Tentu, ini membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak terutama pihak-pihak yang bersengketa. Semoga…
Tags:

Berita Terkait