Ini Kritik KPPU Terhadap Permenhub 26/2017
Berita

Ini Kritik KPPU Terhadap Permenhub 26/2017

Bahkan penerapan jumlah kuota kendaraan taksi online berpotensi terjadinya monopoli.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi transportasi online. Ilustrator: BAS
Ilustrasi transportasi online. Ilustrator: BAS
Untuk meminimalisir konflik yang terjadi di lapangan antara transportasi, khususnya taksi online dan konvensional, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengeluarkan Permenhub No. 26 Tahun 2017 tentang Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Tidak Dalam Trayek. Permenhub ini dinyatakan berlaku sejak 1 April 2017 lalu.

Sebenarnya, Permenhub 26/2017 merupakan pembaharuan dari Permenhub yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah sebelumnya. Apa yang sebenarnya poin yang diatur di dalam Permenhub 26/2017? Satu hal yang paling mendapatkan perhatian adalah penerapan tarif atas dan tarif bawah untuk transportasi online yang masuk ke dalam nomenklatur baru, yaitu “angkutan sewa khusus”.

Menurut Direktur Pengkajian, Kebijakan, dan Advokasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ahmad, penerapan ketentuan biaya tarif bawah angkutan taksi konvensional dan online akan memberikan dua efek, terutama untuk konsumen. Pertama, akan berimbas pada makin mahalnya biaya transportasi. Batas bawah merugikan konsumen karena tidak lagi dapat menikmati harga yang terjangkau dan hal ini sama saja dengan membiarkan konsumen menanggung inefisiensi operator jasa transportasi. Kedua, menyangkut persoalan kuota jumlah kendaraan untuk taksi online. (Baca Juga: Catat! Ini Payung Hukum Angkutan Berbasis Aplikasi)

Permen 26/2017, lanjut Taufik, pada dasarnya berusaha menyamakan perlakuan terhadap taksi konvensional dan taksi online. Pendekatan ini justru menimbulkan perdebatan karena selama ini jumlah kendaraan taksi online yang beroperasi mengikuti prinsip demand dan supply. Menetapkan batasan kuota dapat berujung pada ketidakmampuan perusahaan transportasi online menyediakan armada yang sesuai dengan demand pasar. Konsumen menjadi semakin kesulitan mengakses layanan alternatif ini.

“Tidak jelas siapa yang mau di-protect (soal tarif atas dan tarif bawah). Apakah masyarakat, pengguna aplikasi, atau kepada siapa masih belum jelas. Implementasinya bisa kompleks di lapangan," kata Taufik dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (24/5).

Apalagi, lanjutnya, penerapan jumlah kuota untuk taksi online harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Pasalnya, pasal pembatasan kuota dalam Permenhub ini rentan dimonopoli oleh operator tertentu. Jangan sampai operator transportasi online tidak dapat menurunkan armada angkutannya karena kuota telah habis diambil oleh operator lain. (Baca Juga: 3 Syarat Bagi Pengemudi Taksi Berbasis Aplikasi)

Selain itu, KPPU juga menilai perlunya regulasi mengenai standar pelayanan minimum yang harus diterapkan oleh seluruh operator jasa transportasi termasuk taksi online. Penerapan standar minimum ini penting untuk menjaga kenyamanan dan keamanan penumpang yang menggunakan jasa transportasi konvensional dan online.

Walaupun secara resmi PM26/2017 telah berlaku sejak 1 April 2017, Kementerian Perhubungan memberikan masa tenggat untuk beberapa poin. Untuk pengujian berkala (KIR), stiker untuk taksi online dan akses dashboard digital diberi transisi sampai 1 Juni 2017. Sementara untuk pemberlakuan tariff batas atas dan batas bawah, kuota kendaraan, pengenaan pajak dan balik nama surat tanda nomor kendaraan (STNK), masa transisi diberikan sampai 1 Juli 2017.

“Perlu pembahasan lebih mendalam demi membantu Kementerian Perhubungan untuk dapat secara efektif mengimplementasikan Permenhub 26/2017 sehingga tidak ada gangguan-gangguan yang tidak perlu di lapangan,” jelasnya. (Baca: Jika Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan, Ini 5 Hal yang Wajib Diatur)

Revisi UU Lalu Lintas dan Transportasi
Direktur Angkutan dan Multimoda Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Cucu Mulyana menyampaikan bahwa pihaknya menyadari Permenhub 26/2017 tak mungkin bisa menyenangkan kedua belah pihak. Namun untuk saat ini, ia meminta seluruh pihak menghormati aturan yang sudah dinyatakan berlaku demi mencari keseimbangan yang harmonis.

“Kami menyadari terbitnya Peraturan Menteri No 26/2017 pasti mustahil menyenangkan semua pihak, tetapi ini penting dan atas dasar keselamatan dan keamanan publik mudah-mudahan hadirnya peraturan itu bisa menimbulkan harmonisasi,” kata Cucu.

Persoalan transportasi online saat ini tidak hanya berkutat pada taksi online saja. Beberapa kali bentrok terjadi antara sopir angkot dan driver ojek online, atau antara ojek konvensional dan ojek online. Persoalan ini, lanjut Cucu, cukup sensitif di Indonesia. Mengingat, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mengakomodir kendaraan roda dua termasuk ke dalam transportasi umum.

Salah satu upaya yang saat ini tengah dilakukan oleh pihaknya, lanjut Cucu, adalah membahas revisi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Proses revisi saat ini masih dalam proses kajian untuk menyelesaikan naskah akademik. Apalagi, menjadikan angkutan roda dua untuk masuk ke dalam kategori transportasi umum tidaklah mudah.

“Harus ada naskah akademis, karena ini roda dua factor keselamatan harus diperhatikan, pengujian kendaraan bagaimana, SIM-nya bagaimana untuk roda dua apakah masih C umum atau seperti apa. Untuk membahas ini, harus duduk bersama dengan Kepolisian, pengaturan seperti itu memerlukan kajian yang lebih mendetail,” ungkapnya.

Untuk mengatasi persoalan fenomena ojek online yang saat ini menjamur namun tak memiliki payung hukum, Cucu menilai hal tersebut bisa diatasi dengan menerbitkan peraturan di daerah yang mengatur mengenai ojek online.

Economis Institute for Development of Ecomonics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menambahkan bahwa kelemahan ojek online adalah tidak memiliki payung hukum yang jelas. Kemenhub, lanjutnya, memang memberikan tanggungjawab kepada Pemda untuk mengelola ojek online yang ada di setiap daerah, namun hal ini justru akan menimbulkan konflik baru, misalnya ada oknum yang ‘bermain’ di daerah.

Jalan keluar yang paling ideal adalah dengan mempercepat proses revisi UU Lalu Lintas. Defenisi kendaraan roda dua harus diperjelas dan mengakomodir kendaraan roda dua sebagai transportasi umum. Sehingga nantinya aturan yang ada di daerah akan merujuk kepada UU Lalu Lintas yang sudah direvisi dan tidak menimbulkan perbedaan aturan tiap daerah yang dapat memicu konflik baru.

“Harus kritik transportasi online juga, karena menurut saya mereka (transportasi online) mempunyai tanggung jawab juga untuk merangkul ojek-ojek yang sudah ada. Harusnya mereka dulu diserap daripada merekrut baru, bentrok di daerah itu diakibatkan oleh rekruitmen baru, komunikasinya kurang bagus. Kompetisi harus dibiarkan dan didukung tapi di satu sisi harus melihat msyarakat dan pemain yang lama tetap bisa hidup, jadi tidak saling memangsa,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait