Urgensi Jaminan Keamanan dan Kesehatan Sang ‘Wakil Tuhan’
Mengurai Status Hakim:

Urgensi Jaminan Keamanan dan Kesehatan Sang ‘Wakil Tuhan’

RUU Jabatan Hakim seharusnya mengatur jelas dan lebih rinci, bentuk jaminan keamanan dan kesehatan bagi para hakim dan aturan turunannya. Sebab, bagaimanapun perlu ada peningkatan jaminan keamanan dan kesehatan yang memadai agar kinerja para hakim menjadi lebih optimal.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT/NOV
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Impian banyak orang yang berprofesi hakim bisa bekerja secara optimal, aman, dan independen tanpa tekanan dari pihak manapun. Tapi, faktanya jabatan hakim rawan menerima intimidasi, tekanan hingga terancam jiwanya. Di sisi lain, jaminan keamanan dan kesehatan bagi hakim masih minim.

Misalnya, minimnya satuan pengamanan (Satpam) ataupun penempatan anggota kepolisian di pengadilan menjadi salah satu sebab minimnya perlindungan keamanan bagi hakim ketika menjalankan tugas yudisialnya. Terlebih, perkara yang ditangani terbilang kategori besardan atau melibatkan rezim penguasa. Kondisi ini, tak lepas dari ancaman fisik, psikis, intimidasi, bahkan tindakan anarkis di ruang persidangan. Baca Juga: Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara

Tak hanya soal keamanan, hakim dalam menjalankan tugasnya kerap lewat larut malam. Memang sidang sebuah perkara memang acapkali membutuhkan waktu panjang. Terlebih, saksi atau ahli dari pihak penuntut umum maupun pihak terdakwa cukup banyak yang akan dimintai keterangannya. Seperti, yang kerap terjadi dalam persidangan perkara korupsi atau perkara besar yang menarik perhatian publik. Tentu, proses persidangan hingga larut malam dapat berpengaruh terhadap faktor kondisi kesehatan bagi majelis hakim karena banyak menguras energi dan pikiran.

Berikut daftar beberapa hakim yang mengalami tekanan, ancaman, dan kekerasan
No Insiden Tahun Kejadian
1 Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita mengalami kekerasan yang berujung hilangnya nyawa akibat dibunuh pasca menjatuhkan putusan kasasi yang menghukum Tommy Suharto dalam kasus Goro Batara Sakti-Bulog dengan Tommy, 26 Juli 2001. Putusan kasasi menghukum Tommy dengan hukuman kurungan 18 bulan penjara, wajib membyara ganti rugi Rp30 miliar serta denda Rp10 juta. 2001
2 Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo M Taufiq mengalami kekerasan dengan ditusuk menggunakan sangkur oleh Kolonel Laut M Irfan. M Taufik merupakan hakim pengadilan agama Sidoarjo yang menyidangkan perkara harta gono-gini. Peristiwa itu terjadi setelah hakim membacakan putusan sidang perdata atas gugatan pembagian harta gono-gini yang diajukan Kolonel Laut M Irfan. 21 September 2005
3 Ancaman pembunuhan terhadap hakim dan pegawai  pengadilan agama Wonosari pada 2007 silam. Kasus bermula dari gugatan cerai yang diajukan seorang perempuan yang berdomisili di Gunung Kidul terhadap Wg. Singkat cerita, perkara pun diputus dengan mengabulkan gugatan sang perempuan yang tak disebutkan namanya bercerai dengan Wg.  Juli 2007, Wg pun melayangkan surat ancaman yang dikirimkan ke PA Wonosari melalui pos. Juli 2007
4 Rumah Hakim Royke Inkiriwang dan kantor PN Gorontalo ditembak orang tak dikenal. Dua selongsong peluru ditemukan di rumah hakim Royke dan satu selongsong di kantor PN Gorontalo. 23 Juli 2013
5 Pengadilan Negeri Depok dirusak Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Insiden tersebut membuat resah akibat faktor keamanan bagi para hakim di PN Depok 17 September 2013
6 Tekanan psikis melalui aksi unjuk rasa terhadap majelis hakim yang dilakukan oleh kedua belah pihak  massa pro kontra dalam persidangan kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama di Pengadilan Jakarta Utara bertempat diauditorium Kementerian Pertanian. Desember 2016-April 2017
Diolah dari berbagai sumber pemberitaan media

Dari peristiwa itu, betapa pentingnya jaminan keamanan seorang hakim/hakim agung ketika menjalankan tugasnya. Terlebih, para hakim yang berada di pengadilan tingkat pertama yang berhadapan langsung dengan pihak-pihak berkepentingan. Padahal, peraturan perundang-undangan sudah memberikan jaminan keamanan termasuk kesehatan didalamnya.  

Pasal 48 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, negara telah memberi jaminan keamanan dan kesejahteraan. Lalu, Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (MA), diantaranya menetapkan jaminan keamanan dan kesehatan bagi hakim.

Pasal 7 PP No. 94 Tahun 2012 menyebutkan hakim mendapatkan jaminan keamanan dalam pelaksanan tugas meliputi tindakan pengawalan dan perlindungan terhadap keluarga. Jaminan keamanan ini didapat dari Kepolisian RI atau pengawas keamanan lainnya. Namun, faktanya, jaminan keamanan termasuk kesehatan hakim dalam menjalankan tugas peradilan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh negara.

Belum optimal
Hakim Pengadilan Agama Bawean, Gresik Jawa Timur, Achmad Kadarisman menilai meski sudah diatur UU dan aturan turunannya, fakta di lapangan jaminan keamanan dan kesehatan belum optimal. Kadarisman mengatakan pemberian pengamanan hanya pada saat eksekusi putusan. Kalau tindakan pengamanan sidang biasanya ada pemintaan ketua pengadilan kepada polisi.

“Kalau persidangan pengadilan agama biasa tidak ada (pengamanan, red),” ujarnya kepada Hukumonline, Rabu (24/5/2017) pekan lalu.

Padahal, lanjutnya, penanganan perkara waris harta gono-gini rentan terjadi konflik yang bisa mengancam hakim agama yang bersangkutan. Perkara harta gono-gini maupun perceraian kerap pula berujung ancaman terhadap hakim. Setidaknya terhadap salah satu pihak yang tak terima atas putusan hakim kerap pula hakim menjadi korban ancaman verbal. Meski ada Satpam di Pengadilan Agama, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Kadarisman punya pengalaman ketika masih bertugas di Pengadilan Agama Jambi, hanya ada 1 orang Satpam. Apalagi, Satpam tersebut tidak bersertifikat. Kemudian, atas inisiatif Ketua Pengadilan Agama setempat kala itu, Satpam di lingkungan pengadilan agama diikutsertakan pendidikan dan latihan di Polda Jambi.

“Ada pelatihan-pelatihan khusus untuk penanganan atau pencegahan kalau ada ancaman. Ini agar pelayanan keamanan yang Satpam Pengadilan Agama Jambi menjadi lebih profesional ketika memeriksa tamu, atau tindakan lainnya yang dilakukan dalam pengamanan yang memenuhi standar. Namun, lagi-lagi persoalan anggaran menjadi alasan klasik dalam pembiayaan honor tenaga Satpam.”

Wakil Ketua Pengadilan Agama Cianjur Faizal Kamil juga punya cerita serupa. Dia menilai keamanan bagi hakim di daerah jauh lebih miris ketimbang di kota-kota besar. Mendapat ancaman bagi hakim di daerah kerap dialaminya. Tak jarang ditemua pihak berperkara dalam persidangan menggebrak meja.

“Saat saya bertugas di Bengkali, saya merasakan itu (ancaman). Memang keamanan (dalam sidang) minim karena kita sering diancam di persidangan, bahkan marah-marah gebrak-gebrak meja. Jadi, saya rasa perlu ada UU Contempt of Court (penghinaan pengadilan),” usulnya.

Lebih lanjut, pria yang pernah bertugas di Ambon dan Manado itu memiliki pengalaman beberapa kali mendapat ancaman. Mulai diancam bakal disantet, hingga pembunuhan seperti yang dialami hakim di Sidoarjo 2005 silam. Ancaman demi ancaman yang diterimanya tak sekalipun membuatnya gentar sedikit pun. Pernyataan ancaman itu pun dilakukan pelaku di dalam ruang sidang. “Ini memang karena tak ada pengamanan, karena Satpam terbatas,” keluhnya.

Suatu ketika, Faizal pernah menyidangkan perkara waris dan harta bersama. Ancaman dengan senjata tajam golok pun pernah dialaminya. Bahkan Faizal memiliki pengalaman rumah kontrakan yang ditempatinya saat bertugas di Pengadilan Agama Jambi disambangi dua orang yang mengintimidasinya. Bahkan, telepon seluler miliknya di kediaman rumah kontrakan  pun sempat ingin digasak (dicuri).  

Lantaran memiliki kemampuan bela diri, Faizal pun meladeninya dengan mengusirnya. Pengalaman Faizal diharapkan menjadi alarm bagi hakim-hakim di daerah. Ia mengimbau agar para hakim yang bertugas di daerah mesti memiliki kemampuan bela diri agar dapat menjaga keamanan dirinya. “Jadi saya imbau rekan-rekan hakim mesti punya (ilmu) bela diri, wajib. Karena kalau kita ngandelin negara, mana?”

Dia berharap sistem pengamanan persidangan khususnya di pengadilan agama seharusnya menjadi perhatian pemerintah/negara. Apalagi, selama ini sistem pengamanan di pengadilan agama tak sebaik di pengadilan negeri. Sebab, pihak kepolisian jauh lebih segan dengan pengadilan negeri ketimbang pengadilan agama. “Pengadilan agama masih dipandang sebelah mata, alasannya dananya kecil,” katanya.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Suhadi mengakui betapa pentingnya jaminan keamanan dan kesehatan terhadap hakim, khususnya pengadilan tingkat pertama di semua lingkungan peradilan yakni pengadilan agama, pengadilan negeri, tata usaha negara. Terlebih, para hakim berstatus pejabat negara, tetapi faktanya masih diperlakukan seperti PNS/ASN dalam hal jaminan keamanan.

“Hakim semestinya tak saja mendapat perlindungan di pengadilan, tetapi juga keluarganya,” ujar Hakim Agung Kamar Pidana ini. Baca Juga: Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara    

Dalam kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, sistem pengamanan bagi majelis hakim menjadi wajib. “Itu kalau tidak dikawal dengan keamanan bisa dicabik-cabik oleh pendemo dari kedua belah pihak. Seharusnya ada jaminan keamanan, apapun sifatnya,” katanya.

Menurutnya, merujuk UU Kekuasaan Kehakiman dan PP 94 Tahun 2012, akses jaminan keamanan bagi hakim seharusnya dijamin negara dalam hal ini pihak kepolisian. Artinya, ketika pengadilan membutuhkan pengamanan, maka pihak kepolisian berkewajiban memberikan pengamanan tanpa terkecuali.

“Idealnya menempatkan anggotanya satu hingga dua orang untuk menjaga pengadilan, dengan dibantu Satpam pengadilan dalam melakukan pengamanan sehari-hari di lingkungan pengadilan. Begitu pula di komplek perumahan hakim. Kalau ada apa-apa kan connect dengan induk kesatuan kepolisian itu,” harapnya.

Hanya Asuransi BPJS
Seperti halnya jaminan keamanan, jaminan kesehatan bagi hakim di daerah pun optimal. Selama ini, jaminan kesehatan hanya terpaku pada pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kadarisman punya pengalaman ketika sang istri hendak melahirkan putra keduanya, kesulitan mencari rumah sakit yang layak dengan menggunakan BPJS. Setelah ditemukan pelayanan BPJS di rumah sakit tempatnya bertugas kurang memadai, akhirnya sang istri pun melahirkan di Malang.

“Itu (BPJS Kesehatan, red) agak berbelit-belit dan mesti merujuk ke puskesmas dahulu, serta rangkaian administrasinya begitu panjang,” ujarnya.

Kondisi ini mendorong sebagian hakim di daerah membeli asuransi kesehatan di luar BPJS dengan mengeluarkan kocek dari gajinya sendiri. Sebab, selama ini tak adanya kebijakan pemberian asuransi bagi seluruh hakim di luar BPJS. “Dengan begitu, asuransi bagi hakim sebagai ‘wakil Tuhan’ pun sama halnya dengan kalangan nonhakim,” kata Kadarisman.

Faizal Kamil punya keluhan yang sama. Menurutnya ketiadaan jaminan kesehatan yang memadai bagi hakim menjadi persoalan tersendiri. Ketika hakim dituntut bekerja maksimal dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, tetapi tidak berbanding lurus dengan jaminan keamanan dan kesehatan yang diberikan negara. “Kalau BPJS itu sangat berbelit-belit. Padahal gigi kita, misalnya, sudah sekarat,” keluhnya.

Baginya, sepanjang jaminan kesehatan berupa BPJS yang diberikan negara tak berbelit-belit tidak jadi persoalan. Masalahnya, pelayanan kesehatan melalui BPJS di daerah kerap berbelit-belit. Bahkan, kata Faizal, ketika hakim sudah dalam kondisi sakit yang memerlukan pelayanan kesehatan secara cepat, justru mesti melalui Puskesmas dahulu. Nah mengatasi hal itu, Faizal menilai perlu adanya asuransi kesehatan di luar BPJS.

Namun, akibat keterbatasan kemampuan keuangan negara, hakim pun mesti berinisiatif menjadi peserta asuransi kesehatan lain dengan biaya sendiri. Lagi-lagi, itu pun bila hakim tak mau lagi menggunakan BPJS Kesehatan semata dalam rangka mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan optimal. “Kalau kesejahteraan (hak) dengan PP 94 Tahun 2012 okelah, tapi dua hal kesehatan dan keamanan itu masih kita pertanyakan,” ujarnya.

Sementara Suhadi melanjutkan jaminan kesehatan bagi hakim tingkat pertama dan banding berbeda dengan jaminan kesehatan hakim agung. Bila hakim agung mendapat asuransi di luar BPJS lantaran hakim agung sebagai pejabat negara. “Hakim tingkat pertama dan banding hanya menggunakan BPJS Kesehatan. Asuransi yang didapat hakim agung dari Asuransi Kesehatan Jasindo,” ungkapnya.  

Dia berharap negara memberikan perlakuan pelayanan kesehatan yang sama terhadap seluruh hakim, mulai hakim tingkat pertama, banding hingga hakim agung. “Misalnya ada jaminan kesehatan lain di luar BPJS, seperti yang dinikmati hakim agung. ya lumayan kan, ini agar kesehatan para hakim bisa terjamin,” ujar Juru Bicara MA ini.

Peningkatan jaminan keamanan dan kesehatan
Kadarisman berharap ke depan agar ada peningkatan jaminan keamanan dan kesehatan bagi para hakim. Misalnya, penambahan tenaga Satpam yang terlatih di setiap pengadilan yang sudah dianggarkan dalam DIPA di Satker masing-masing. Diharapkan setiap persidangan dapat dikawal oleh beberapa tenaga Satpam khusus yang terlatih, sehingga ada rasa aman ketika para hakim menyidangkan perkara. Soalnya, terkadang pihak berperkara membawa senjata tajam.

“Sidang ini kan marwahnya kita (hakim, red). Jadi kewibawaan pengadilan itu disitu agar tetap terjaga. Jadi saya mohon prioritaskan dari sisi anggaran untuk peningkatan pengamanan sidang, ada Satpam khusus.”

“Para hakim mesti mendapat pelayanan BPJS kelas I. Terpenting, pelayanan kesehatan BPJS tidak dipersulit bagi hakim, setidaknya adanya kekhususan pelayanan BPJS bagi hakim. Kita tidak minta derajatnya dilebihkan dari orang lain, tapi dari aspek dari pelayanan  kasuistis misalnya hakim sudah sakaratul maut langsung saja dibawa saja ke rumah sakit Pertamina, jadi prioritas,” harapnya.

Peneliti Lembaga Independen Peradilan Indonesia (LeIP) Edwin Yonathan Sunarjo mengatakan ancaman, intimidasi, bahkan tindak kekerasan kerap dialami hakim saat menjalankan tugasnya. Meski sudah ada aturan terkiat jaminan keamanan bagi hakim, pelaksanaannya hanya di atas kertas. Di sisi ini, kata Edwin, Komisi Yudisial (KY) bisa mengambil peran demi menjaga marwah, wibawa, independensi lembaga peradilan.

“Memang sistem keamanan di pengadilan belum berjalan optimal. Ke depan, saya sepakat, MA juga harus memiliki satuan tugas khusus pengamanan persidangan,” saran Edwin.

Ditanya jaminan kesehatan di luar BPJS bagi hakim, kata Edwin, hal itu bergantung kemampuan anggaran keuangan negara. Hanya saja, sarannnya, jaminan kesehatan berupa BPJS tetap harus didukung pula oleh hakim. Bila alasan pelayanan berbelit-belit dan birokrasi yang panjang, maka persoalan yang mesti dibenahi di tingkat BPJS Kesehatan.

Dia berharap RUU Jabatan Hakim mengatur jelas dan lebih rinci, bentuk jaminan keamanan dan kesehatan bagi para hakim dan aturan turunannya. Sebab, bagaimanapun perlu ada peningkatan jaminan keamanan dan kesehatan yang memadai agar kinerja para hakim menjadi lebih optimal. “Dibutuhkan komitmen negara dari sisi pemenuhan anggaran negara,” katanya. Baca Juga: DPR-Pemerintah Bahas RUU Jabatan Hakim
Tags:

Berita Terkait