Program Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan
Berita

Program Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan

Karena masih kuatnya monopoli penguasaan tanah/lahan oleh penguasa dan pebisnis yang apalagi hal ini tidak masuk dalam objek reforma agraria.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana RDPU antara Komite I DPD dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait pelaksanaan Reforma Agraria di Gedung DPD, Jakarta, Senin (4/9). Foto: RFQ
Suasana RDPU antara Komite I DPD dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait pelaksanaan Reforma Agraria di Gedung DPD, Jakarta, Senin (4/9). Foto: RFQ
Reformasi agraria yang dilakukan pemerintah melalui legislasi dan redistribusi lahan seluas 9 juta hektar jauh api dari panggang. Begitu pula pelaksanaan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar masih jauh pula dari harapan. Demikian intisari rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komite I DPD dengan Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Serikat Petani Indonesia, di Gedung DPD.

RDPU digelar dalam rangka melakukan pembahasan pelaksanaan reformasi agraria terkait Redistribusi Lahan, Legalitas asset, dan RUU tentang Pertanahan. Ketua Komite I DPD Ahmad Muqqowam berpendapat pelaksanaan reforma agraria mestinya menjadi hal mendasar. Apalagi pemerintah memiliki program pendistribusian 9 juta hektar lahan. Hal ini
sudah tertuang dalam UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang memberi lahan untuk diolah oleh petani.

“Nah, lahan tersebut dilakukan melalui pengadaan tanah obyek reforma agraria oleh pemerintah. Sayangnya praktik pengadaan tanah obyek reforma agraria tersebut banyak menemui hambatan. Jadi, pelaksanaan reforma agraria yang dilaksanakan pemerintah saat ini masih jauh panggang dari api,” ujar Muqqowam di Gedung DPD, Senin (4/9/2017) kemarin. Baca Juga: Pemerintah Siapkan Rencana Operasional Reforma Agraria

Menurutnya, prioritas yang kerap diutarakan pemerintah tak kunjung terwujud melalui program konkrit. Keberpihakan terhadap kalangan para petani dan masyarakat kecil belum pula dapat diwujudkan. Dengan kata lain, target pendistribusian lahan 9 juta hektar lahan sebagaimana yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla masih jauh dari harapan.   

Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat berpendapat pemerintah dalam mewujudukan reforma agraria tidak menyentuh praktik monopoli penguasaan atas tanah. Sebab, tanah yang dimiliki kalangan penguasa dan kaum pebisnis tidak masuk dalam objek reforma agraria. Hal ini sama saja, tidak ada keberpihakan pemerintah terhadap kalangan petani dan masyarakat kecil.

Ironisnya, dampak dari monopoli pertanahan ini berpengaruh terhadap input dan output di sektor pertanian. Baginya, reforma agraria harus mengurangi praktik monopoli pertanahan oleh pemerintah dan pebisnis. Dengan begitu, petani dapat menikmati bagi hasil dan jumlah keuntungan dari apa yang mereka kerjakan.

Senada, Sekretaris Umum Serikat Petani Indonsia (SPI) Agus Ruli Hardiyansyah menambahkan legalisasi dan sertifikasi lahan belakangan terakhir banyak terjadi konflik. Petani dan kalangan masyarakat adat banyak menjadi korban. Praktiknya, program 9 juta hektar legalisasi dan redistribusi skema lahan oleh pemerintah tidaklah ideal.

Dia menyebut tanah objek reforma agraria yang dilepas tidak tepat sasaran. Sebaliknya, hanya mengakomodir pemilik perkebunan berskala besar. Sedangkan lahan sisa hanya dinikmati masyarakat kecil. Ruli menunjuk petani di Mekar Jaya Langkat, Sumatera Utara. Menurutnya para petani ditempat tersebut tetap digusur meski sudah bertahun-tahun mengusahakan lahan tersebut.

Hal tersebut membuktikan betapa masih kuatnya penguasa melindungi kepentingan para pebisnis. Sementara kepentingan masyarakat petani diabaikan. “Kami melihat reforma agraria belum berhasil (gagal),” katanya. Baca Juga: Kepemilikan Rumah WNA Kemunduran Reforma Agraria
Tags:

Berita Terkait