Peraturan BI Soal e-Money Digugat ke Mahkamah Agung
Berita

Peraturan BI Soal e-Money Digugat ke Mahkamah Agung

Ketentuan PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Uang Elektronik dinilai bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Kuasa hukum pemohon dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan. Foto: Istimewa
Kuasa hukum pemohon dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan. Foto: Istimewa
Sejumlah warga mengajukan hak uji materiil Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait uang elektronik (e-Money) ke Mahkamah Agung (MA). Mereka meminta MA menyatakan aturan tersebut tidak berlaku lantaran melarang warga melakukan bertransaksi secara tunai.

Kuasa hukum pemohon dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan, menilai PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang secara tidak langsung dapat diartikan praktik penggunaan uang elektronik ilegal.

“Pasalnya, semenjak berhembusnya peraturan ini, pelbagai fasilitas publik seperti Layanan Jalan Bebas Hambatan (tol). Layanan Transportasi Bus Transjakarta dan lain sebagainya menolak adanya transaksi pembayaran tunai. Praktk kebijakan ini telah mendiskriminasi warga yang hendak melakukan transaksi pembayaran dengan uang tunai,” kata Azas dalam keterangan tertulisnya, Selasa (10/10).

Menurut Azas, fakta tersebut menimbulkan keresahan dan pertanyaan dalam masyarakat tentang keberadaan UU Mata Uang yang hanya mengatur rupiah dalam bentuk kertas dan logam lantaran masyarakat yang menggunakan rupiah untuk transaksi pembayaran, selain didiskriminasi juga dibuat bingung bahkan dipaksa tidak mengunakan uang rupiah. Padahal, UU Mata Uang jelas mengatur rupiah adalah mata uang resmi Indonesia bukan uang elektronik.

(Baca Juga: BI Terbitkan Aturan, Top Up e-Money Maksimal Kena Biaya Rp1.500)

Makanya, Normansyah (41) dan Tubagus Haryo Karbyanto (48) sebagai pengguna layanan tol dan bus Transjakarta melalui kuasa hukumnya dari FAKTA mengajukan permohonan ke MA karena setidaknya layanan publik tersebut menolak warga yang membayar dengan menggunakan uang tunai. Kata Azas, mata uang rupiah dicetak dan diatur penggunaannya oleh BI. Hal ini menunjukkan Indonesia telah mengatur dengan jelas dan tegas tentang mata uang melalui undang-undangnya.

“Jelas terbukti bahwa PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) bertentangan dengan Undan-Undang Mata Uang yang belum/tidak mengakomodir adanya mata uang rupiah dalam bentuk rupiah elektronik (electronic money). Maka uang elektronik adalah uang illegal,” kata Azas.

Hari ini Selasa (10/10), FAKTA resmi mendaftarkan uji materil ke MA dengan pertimbangan bahwa PBI Nomor 16/8/PBI tentang Uang Elektronik bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni UU No. 7 Tahun 2011.

(Baca Juga: Ragam Kritik atas Kebijakan Biaya Isi Ulang e-Money)

Azas menyebut, penolakan terhadap transaksi tunai adalah sebuah pembangkangan terhadap undang-undang. Untuk itu, warga sangat membutuhkan penjelasan agar adanya kepastian hukum terhadap hal–hal tersebut dan tidak adanya diskriminasi terhadap masyarakat pengguna rupiah kertas maupun logam dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran.

Sekadar catatan, 23 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah.

Pasal 23 ayat (1):

Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
Pasal 33 ayat (2):

Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya diilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

“Kami meminta agar Mahkamah Agung untuk menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut: Pertama, menerima dan mengabulkan permohonan ini secara keseluruhan. Kedua, menyatakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) tidak sah atau tidak berlaku secara umum,” kata Azas.

Sebelumnya, advokat yang peduli masalah-masalah konsumen, David ML mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait dengan kebijakan e money ini. Menurutnya, aturan tersebut di satu sisi justru mencerminkan keberpihakan kepada pengusaha, dan di sisi lain merupakanpelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Aturan itu berpotensi menimbulkan ketidakadlilan dan diskriminasi bagi konsumen.

David menengarai kebijakan BI itu melanggar hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan mata uang rupiah kertas atau logam dan patut diduga sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Tags:

Berita Terkait