Pengusaha Minta Regulasi Pajak e-Commerce Adil
Utama

Pengusaha Minta Regulasi Pajak e-Commerce Adil

Diharapkan ada komunikasi antara regulator dengan pelaku industri terkait pemberlakuan pajak e-Commerce.

Oleh:
M. Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Pengusaha Minta Regulasi Pajak e-Commerce Adil
Hukumonline
Pengusaha meminta regulasi pajak kegiatan perdagangan online (e-commerce) adil sehingga tidak ada potensi yang mengancam keberlangsungan pelaku usaha di bidang tersebut. Hal ini disampaikan Co-Founder dan CEO Tokopedia, William Tanuwijaya, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (16/10).

William mengatakan jika ada perberlakuan pajak baru yang hanya dikenakan kepada marketplace, padahal ada pula yang melakukan kegiatan jual beli di media sosial tanpa dikenakan pajak apa pun, hal itu tentu tidak akan adil bagi pelaku usaha marketplace.

"Padahal kami selama delapan tahun ini investasi besar untuk memformalkan transaksi-transaksi yang tidak formal," ujarnya.

William menuturkan, sejak awal tidak pernah meminta perlakuan khusus terkait pajak untuk perusahaannya. Perusahaan marketplace itu justru mendorong dua juta penjual yang terdaftar untuk melaporkan dan membayar pajak sesuai ketentuan dan aturan yang berlaku.

Sayangnya, dua juta penjual itu juga biasanya melakukan penjualan di media lain yang mungkin tidak terlacak, termasuk berjualan langsung berupa toko. "Oleh karena itu, penjual harus secara jujur melaporkan pendapatan sehingga pajak bisa dilakukan dengan tepat," katanya.

William berharap ada komunikasi antara regulator dengan pelaku industri terkait pemberlakuan pajak e-Commerce yang disebut-sebut akan diberlakukan bagi marketplace itu. Terlebih, ia menyebut model bisnis marketplace berbeda dengan model bisnis lainnya.

"Dengan teman-teman asosiasi kami berharap ada komunikasi antara Ditjen Pajak dengan pelaku industri sehingga ditemukan rumusan pajak yang tepat sasaran dan tidak membunuh pelaku industri," tuturnya.

Kendati demikian, ia mengaku belum bisa menilai apakah regulasi pajak itu akan memberatkan atau tidak karena belum ada keputusan mengenai rincian aturannya. Yang pasti, William menyebut potensi industri e-Commerce memiliki potensi besar untuk berkembang pada masa mendatang lantaran kontribusinya terhadap pendapatan ritel nasional baru mencapai 1 persen.

(Baca Juga: ‘Aturan Turunan’ Road Map e-Commerce Jangan Sampai Hambat Pelaku Usaha)


Seperti diberitakan hukumonline sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik atau Road Map E-Commerce pada 21 Juli 2017 lalu. Dengan aturan tersebut, pemerintah berusaha membuat landasan untuk pengembangan bisnis jual beli online di tanah air hingga tahun 2019. Kementerian Keuangan merespons Perpres tersebut dengan melakukan pengkajian terhadap beberapa hal sebelum menyusun aturan teknis pelaksanaan bisnis e-commerce.

Namun, Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) mencatat hal krusial yang mesti menjadi perhatian pemerintah adalah persoalan pajak. Soal pajak menjadi hot topic karena regulasi pajak selalu dinilai rumit terutama bagi pelaku e-commerce yang punya domisili di luar negara Indonesia. Kepala Bidang Pajak, Infrastruktur, dan Keamanan Siber idEA, Bima Laga berpendat ada dua isu menarik terkait pajak pertama insentif buat investor dan kedua perlakuan pajak untuk pelaku e-Commerce lokal dan asing.

“Dari asosisasi sudah beberapa kali bicara sama DJP dan BKF terkait aturan apa yang pas dalam roadmap,” kata Bima pada 16 Agustus lalu.

Menurut Bima, isu yang mengemuka terkait hal tersebut adalah perlakuan pajak, di mana pelaku e-Commerce lokal diwajibkan patuh dengan aturan pajak di Indonesia seperti harus menggunakan badan hukum Indonesia namun untuk pelaku e-commerce asing aturan tersebut tidak bisa diimplementasikan. Selain itu, isu pajak yang terus menjadi concern idEA adalah terkait perlakuan PPN atas pemberian cuma-cuma jasa kena pajak bagi e-Commerce.

Sebagai informasi, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-Commerce sempat menjadi perhatian pelaku e-Commerce terutama terkait aspek perpajakan PPN pada model bisnis classified ads. (Baca Juga: Mengintip Isi RPP E-Commerce)

Definisi classified ads berdasarkan SE-62/PJ/2013 adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang content (teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara classified ads.

Poin utama yang menjadi perhatian para pelaku e-Commerce adalah mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN atas pemberian jasa pada model bisnis classified ads yang tidak memungut bayaran atau gratis. Mereka berpendapat bahwa atas transaksi tersebut seharusnya DPP-nya adalah nol rupiah.

Padahal, pihak Ditjen Pajak berulang kali menjelaskan bahwa dalam hal pengiklan tidak perlu membayar (gratis) untuk memasang iklan di tempat yang disediakan oleh Pengelola Classified Ads, maka penyelenggara classified ads melakukan pemberian cuma-cuma kepada pengiklan yang terutang PPN, DPP untuk pemberian cuma-cuma JKP adalah penggantian setelah dikurangi laba kotor.

Pasal 4 ayat (1) huruf C UU PPN, yaitu PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Hal ini dijelaskan lebih lanjut pada paragraf penjelasan bahwa termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.

Selain itu, Pasal 2 huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.03/2015 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dijelaskan bahwa untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor Sehingga DPP atas pemberian JKP cuma-cuma atau gratis bukanlah nol rupiah, melainkan sejumlah nilai penggantian setelah dikurangi laba kotor.

“PPN cuma-cuma kita berjuang dari tahun 2016. Yang terjadi, kita buat NA (naskah akademik) sudah kita kasih ke BKF. Dengan roadmap, ini bisa jadi perlakuan penyederhanaan pajak,” kata Bima.

Tags:

Berita Terkait