Ne Bis In Idem dalam Praperadilan, Begini Penjelasan Ahli
Berita

Ne Bis In Idem dalam Praperadilan, Begini Penjelasan Ahli

Putusan praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk melakukan penyidikan kembali.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hakim di persidangan. Ilustrator: BAS
Ilustrasi hakim di persidangan. Ilustrator: BAS

Praperadilan yang diajukan Setya Novanto akan digelar kembali dengan agenda jawaban dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (07/12). Ketua DPR itu mempersoalkan penetapan kembali dirinya sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Setelah penetapan Setya sebagai tersangka kedua kalinya muncullah perdebatan mengenai asas ne bis in idem, artinya terhadap kasus yang sama tidak boleh diadili dua kali.

 

Perdebatan itu berpangkal pada pertanyaan pokok: apakah asas ne bis in idem dikenal dalam pemeriksaan praperadilan? Satu pandangan mengatakan penetapan kembali Setya Novanto melanggar asas ne bis in idem mengingat ia sudah pernah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi kemudian dimentahkan lewat putusan praperadilan di PN Jakart Selatan. Sebaliknya, pandangan lain menganggap ne bis in idem tak bisa diberlakukan dalam kasus penetapan kembali Setya sebagai tersangka. “Salah satu alasan SN bahwa penyidikan KPK ne bis in idem,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

 

Prinsip ne bis in idem diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUH Pidana, yang menyatakan “Kecuali dalam putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut”.

 

Ahli hukum acara pidana yang juga dosen di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Luhut MP Pangaribuan, alasan ne bis in idem tidak relevan dipakai dalam praperadilan atas penetapan status tersangka kedua kali. “Sebab praperadilan tidak berhubungan dengan perkara pokok/substansi perkara. ne bis in idem relevan dengan substansi bukan dengan cara yang merupakan yurisdiksi pengadilan,” ujar Luhut kepada hukumonline melalui pesan singkatnya, Senin (04/12).

 

Menurut advokat senior itu, pendapatnya berdasarkan sejumlah aturan hukum yang ada seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Perma ini menyatakan praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka. Hal ini juga senada dengan putusan MK atas pengujian Pasal 83 ayat (1) KUHAP, 10 Oktober lalu. Pasal ini mengatur tentang larangan banding atas putusan praperadilan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim MK menyatakan tidak tertutup kemungkinan dilakukan proses penyidikan kembali terhadap seorang tersangka jika ditemukan bukti yang cukup setelah permohonan praperadilannya dikabulkan.

 

Lebih lanjut, Luhut menjelaskan praperadilan hanyalah proses pemeriksaan administratif mengenai tata cara penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka, bukan memeriksa pokok perkara atas perbuatan orang tersebut dalam suatu dugaan kasus pidana. Oleh karena itu, alasan jika asalan Novanto ne bis in idem sama sekali tidak relevan. “Kalau itu alasannya maka sudah pasti akan ditolak, harus cari alasan lain yang merupakan ruang lingkup praperadilan,” terangnya.

 

Luhut mewanti-wanti agar KPK tidak perlu takut dalam menghadapi permohonan praperadilan, apalagi jika menggunakan dalil ne bis in idem. Sebaiknya KPK mempersiapkan diri menghadapi persidangan, sekaligus mempercepat proses pemberkasan Novanto sehingga bisa dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor, Jakarta. Pemeriksaan pokok perkara jauh lebih penting baik bagi KPK dan juga Novanto sebab nanti di sanalah kebenaran akan terungkap apakah benar Novanto bersalah atau KPK tidak memiliki bukti yang mumpuni dalam menetapkannya sebagai tersangka. “Bila SN tidak bersalah ya harus bebas, sebaliknya jika alat bukti yang ada kuat dihukumlah dengan setimpal,” pungkas Luhut.

Tags:

Berita Terkait