ESDM 2017, dari Peningkatan Nilai Tambah Mineral Hingga Pemangkasan Izin
Berita

ESDM 2017, dari Peningkatan Nilai Tambah Mineral Hingga Pemangkasan Izin

Kebijakan peningkatan nilai tambah mineral dinilai mendongkrak geliat operasi smelter. Sedangkan pemangkasan izin birokrasi dianggap memperbaiki produktivitas industri di sektor ESDM.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pertambangan minerba. Foto: ADY
Ilustrasi pertambangan minerba. Foto: ADY

Kebijakan peningkatan nilai tambah mineral (hilirisasi) telah mendorong investasi pada sektor industri pengolahan dan pemurnian logam (smelter). Tercatat sampai dengan bulan Oktober 2017 investasi yang telah selesai ditanamkan untuk pembangunan fasilitas pemurnian nikel di dalam negeri mencapai AS$5,03 miliar (kurang lebih Rp68 triliun). Investasi tersebut telah berhasil membangun sejumlah 13 fasilitas pemurnian nikel dengan berbagai macam produk yang dihasilkan yaitu NPI, FeNi dan NiHidroxide dan telah mampu memurnikan bijih nikel di dalam negeri sebesar 34 juta ton bijih nikel.

 

“Perlu kami informasikan bahwa sampai dengan bulan Oktober 2017 terdapat 13 smelter nikel yang sudah terbangun dan beroperasi,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono saat memberikan penjelasan mengenai perkembangan investasi dan operasi smelter di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (27/12).

 

Menurut Bambang, operasi ke-13 smelter tersebut telah menghasilkan 598 ribu ton (FeNi dan NPI) serta 64 ribu ton Ni-Matte. Tercatat, smelter dengan total investasi terbesar berikut kapasitas inputnya adalah, smelter Indonesia Guang Ching Nikel and Stainless Steel dengan total nilai investasi sebesar AS$1.020.000.000 dan memiliki kapasitas input sebanyak 7.500.000 ton.

 

Sementara pada komoditas Bauksit, investasi yang telah ditanamkan mencapai AS$1,5 miliar (Rp20 triliun) dengan kemampuan mengolah 4,4 juta ton Bauksit di dalam negeri dan telah mampu memproduksi 700 ribu ton Alumina. Angka ini dibukukan oleh 2 fasilitas pengolahan dan pemurnian yakni PT Indonesia Chemical Alumina dan smelter Bauksit PT Well Harvest Winning.

 

Selanjutnya Bambang menyampaikan, dari 15 fasilitas pemurnian yang tersebut, terdapat 2 smelter nikel yang tidak beroperasi dikarenakan faktor keekonomian akibat dari meningkatnya biaya operasi (kokas) dan melemahnya harga komoditas mineral di awal tahun 2017. Kedua smelter nikel tersebut adalah smelter nikel PT Indoferro yang berhenti berproduksi sejak 19 Juli 2017 dan smelter nikel PT Cahaya Modern Metal Industri yang berhenti beroperasi sejak Januari 2016 akibat kenaikan harga kokas yang mencapai AS$300 per ton.

 

Terkait minat investasi pembangunan smelter nikel, Bambang menyampaikan, pasca terbitnya PP No. 1 Tahun 2017 beserta turunannya Permen ESDM No 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 yang memberikan insentif bagi pelaku usaha yang membangun fasilitas pemurnian untuk dapat menjual bijih nikel kadar rendah, telah mendorong minat pelaku usaha untuk dengan sungguh-sungguh membangun smelter baru atau bahkan mendorong existing smelter meningkatkan kapasitas fasilitas pemurnian yang telah ada.

 

Dilaporkan terdapat 11 perusahaan yang berinvestasi baru dan 2 perusahaan melakukan ekspansi dengan total investasi yang akan ditanamkan sebesar AS$4,3 miliar (Rp56 triliun) dengan kapasitas input sebesar 28 juta ton bijih nikel. Sedangkan pada komoditas bauksit insentif peningkatan nilai tambah mampu mendorong investasi baru untuk membangun 4 fasilitas pemurnian sebesar AS$4 miliar (Rp52 triliun) yang akan meningkatkan kemampuan memurnikan bauksit di dalam negeri sebesar 13 ,7 juta ton.

Tags:

Berita Terkait