Menakar Nasib Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol
Berita

Menakar Nasib Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol

RUU Larangan Minol ini berstatus dipanjangkan masa pembahasan di masa sidang berikutnya karena hingga saat ini saja belum ada titik temu soal penamaan judul RUU dan pasal-pasal krusial.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Minuman beralkohol. Foto: RES (Ilustrasi)
Minuman beralkohol. Foto: RES (Ilustrasi)

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2018 telah ditetapkan sebanyak 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi fokus DPR untuk dibahas dan segera dirampungkan. Dari jumlah itu, tak sedikit RUU lamban pembahasannya di tingkat pertama antara antara pemerintah dan DPR. Salah satunya, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol (Minol) masuk Prolegnas Prioritas 2018 di urutan 10.

 

Tarik ulur sering terjadi dalam pembahasan RUU Minol baik di tingkat Badan Legislasi (Baleg) dan Pansus. Padahal, pembahasan RUU Minol ini sebenarnya sudah dimulai sejak DPR periode 2009-2014. Pangkal persoalannya lantaran RUU Larangan Minol ini terdapat tarik menarik berbagai kepentingan. Mulai judul awal RUU saja menimbulkan perdebatan. Belum lagi, RUU ini terkait dengan aspek kepentingan industri, tenaga kerja, pariwisata dan budaya. Sehingga, aspek kehati-hatian menjadi kunci dalam pembahasan.

 

Wakil Ketua Baleg Firman Subagyo memaklumi lambannya pembahasan RUU Larangan Minol. Itu sebabnya, status RUU Larangan Minol ini mengalami perpanjangan masa pembahasan. Pembahasan sudah beberapa kali masa sidang hingga penghujung tahun 2017 tak kunjung rampung. Mencoba menyepakati masalah penamaan judul yang menjadi titik awal pembahasan saja masih menjadi kendala yang dihadapi Panitia Khusus (Pansus).

 

“Itu cuma masalah kalimat judul,” ujarnya kepada Hukumonline, di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (23/3/2018). Baca Juga: Terkait HAM, 8 RUU dalam Prolegnas 2018 Mesti Dikawal

 

RUU tentang Larangan Minol ini awalnya diinisiasi oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS). Penamaan judulnya dengan kata “Larangan” menjadi keinginan dua fraksi partai berbasis muslim itu. Kata itu pula yang menjadi perseteruan sengit dalam rapat-rapat Pansus dengan pemerintah. Sebab dengan kata “pelarangan”, maka industri minuman dan pariwisata bakal terkena dampaknya. Sementara jika dengan kata “pengendalian” misalnya, peredaran Minol dapat dibeli dan dikonsumsi di tempat-tempat tertentu.

 

Sementara, kata Firman, penamaan judul RUU usulan dari Kementerian Perdagangan diganti dengan kata “pengaturan”. Alasannya, Indonesia terdiri dari keanekaragaman adat dan budaya. Pada daerah-daerah tertentu minuman beralkohol kerap digunakan pada acara ritual-ritual tertentu termasuk kepentingan pariwisata. Atas dasar itu, berbagai aspek itu mesti diakomodir melalui pengaturan dalam RUU ini.

 

“Ini harus diakomodir,” ujar anggota Komisi IV dari Fraksi Golkar itu.

 

Penamaan judul RUU memang belum menemui titik temu. Pemerintah mengubah judul RUU menjadi ‘Pengendalian dan Pengawasan Minol”. Dampak perubahan judul dalam pasal-pasal dalam draf RUU ini. Misalnya, draf awal RUU yang mengunakan kata “melarang” bagi setiap orang mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi Minol, menjadi “diperbolehkan mengedarkan menjual dengan syarat tertentu.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait