Revisi UU Terorisme Harus Tetap Memuat Prinsip-Prinsip HAM
Berita

Revisi UU Terorisme Harus Tetap Memuat Prinsip-Prinsip HAM

Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu dipercepat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES

Sejumlah serangan yang ditengarai dilakukan kelompok terorisme di Surabaya dan Sidoarjo beberapa waktu silam membuat pemerintah melakukan berbagai tindakan yang diperlukan, salah satunya mendesak percepatan penyelesaian produk legislasi yang masih berproses di DPR yakni revisi UU Pemberantasan Terorisme. Sebagaimana diberitakan sejumlah media nasional, Senin (14/5), Presiden Joko Widodo mendesak agar penyelesaian revisi beleid itu dipercepat. Jika itu tidak dapat dilakukan Presiden menyebut bakal menerbitkan Perppu pada Juni 2018.

 

Terpisah, komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, mendukung upaya untuk mempercepat penyelesaian revisi UU Pemberantasan Terorisme sampai Mei 2018. Komnas HAM mengingatkan proses revisi itu harus dilakukan sesuai prinsip, norma, dan instrumen HAM. Revisi itu sedikitnya perlu memperhatikan 4 hal. Pertama, penguatan paradigma sistem peradilan pidana dalam penanganan terorisme, mengedepankan proses hukum yang akuntabel dan menjunjung tinggi HAM.

 

Kedua, harmonisasi ketentuan dalam revisi UU Pemberantasan Terorisme dengan peraturan lainnya seperti KUHP dan putusan Mahkamah Konstitusi terutama menyangkut tindakan perencanaan, percobaan, turut serta, dan penghasutan. Ketiga, pengaturan penyadapan (intersepsi) konsepnya harus jelas antara upaya penegakan hukum dan intelijen, mengingat ini dilakukan aparat penyidik kepolisian dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.

 

(Baca juga: Penerbitan Perppu Bakal Overlapping dengan RUU Terorisme)

 

Jika penyadapan itu sebagai proses penegakan hukum, Anam mengatakan jika jangka waktunya 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun sebagaimana tertuang dalam RUU Pemberantasan Terorisme maka ini tidak rasional dan bertentangan dengan asas hukum cepat, sederhana, dan biaya ringan. Jika penyadapan ini maksudnya sebagai tindakan intelijen, ketentuannya harus mengacu UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

 

Keempat, soal penangkapan dan penahanan, Anam menjelaskan ketentuan penangkapan terduga teroris harus memenuhi bukti permulaan, sehingga ada 2 aspek yang harus dipenuhi yaitu lokasi penempatan dan jangka waktu. Jika jangka waktu penangkapan itu 14 hari dan bisa diperpanjang 7 hari, menurut Komnas HAM ini rawan terjadi pelanggaran HAM. Komnas HAM mendorong revisi ini diselaraskan dengan semangat hukum pidana yaitu sesingkatnya 7 hari sesuai UU No. 15 Tahun 2003 yang didasarkan pada alasan yang layak dan harus bergantung pada kompleksitas perkara, tingkah laku terdakwa dan kerajinan/ketekunan aparat yang bersangkutan.

 

Kemudian perlu diatur kewajiban aparat yang melakukan penangkapan dan pemeriksaan untuk menetapkan dan/atau memberitahukan lokasi ‘penahanan.’ “Ini untuk menghindari potensi pelanggaran HAM, memastikan akuntabilitas dan pengawasan serta akses keluarga dan kuasa hukumnya,” kata Anam dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (14/5).

 

Walau mendukung penyelesaian revisi UU Pemberantasan Terorisme untuk dipercepat pada Mei 2018, Anam menegaskan lembaganya menolak Perppu. Alasannya, pengaturan dan perlindungan terhadap korban sudah diatur dalam revisi, terutama korban terorisme langsung dan korban terorisme tidak langsung. Meskipun RUU ini belum mengatur tentang korban terorisme sekunder dan korban terorisme potensial seperti aparat kepolisian. Selanjutnya, ketentuan yang ada dalam revisi, menurut Anam, sudah komprehensif mengatur mulai dari pencegahan, penindakan, pemulihan hak korban, hingga deradikalisasi melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait