Penelitian LBH Pers Simpulkan Right to Be Forgotten di UU ITE Mubazir
Utama

Penelitian LBH Pers Simpulkan Right to Be Forgotten di UU ITE Mubazir

Lemah secara kejelasan ruang lingkup right to be forgotten dan mekanisme penegakannya.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Koordinator Tim Penelitian LBH Pers, Wahyudi Djafar, didampingi anggota tim peneliti lainnya. Foto: Edwin
Koordinator Tim Penelitian LBH Pers, Wahyudi Djafar, didampingi anggota tim peneliti lainnya. Foto: Edwin

Revisi UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan UU No.19 Tahun 2016 memasukkan konsep baru soal hak untuk dilupakan (right to be forgotten). Dampaknya berupa kewajiban melakukan “penghapusan informasi elektronik/dokumen elektronik yang tidak relevan” bagi penyelenggara sistem elektronik.

 

Namun penelitian terbaru oleh LBH Pers justru menunjukkan pasal tentang right to be forgotten dalam UU ITE tidak bisa dijalankan dengan berbagai sebab. Pasal yang digadang-gadang DPR akan melindungi hak konstitusional atas privasi ini ternyata mubazir.

 

Koordinator tim peneliti, Wahyudi Djafar mengatakan bahwa nasib pasal 26 ayat 3 yang memuat konsep right to be forgotten bermasalah secara substansi dan mekanisme penerapannya. Ketika ditanya hukumonline apakah pasal tersebut bisa diterapkan atau tidak, ia menjawab tegas, “Belum bisa, nasibnya akan sama dengan ayat 1 dan ayat 2 pasal itu, tidak pernah bisa diaplikasikan,” katanya kepada hukumonline usai seminar peluncuran hasil penelitian berjudul “Hak Penghapusan Informasi atau Hak untuk Dilupakan”, Kamis (23/8) di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta.

 

Pendapatnya ini berdasarkan hasil penelitian bersama tim LBH Pers terhadap konsep right to be forgotten yang dimuat dalam revisi UU ITE dua tahun lalu.

 

Pasal 26 ayat 3 UU ITE

(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

 

Berdasarkan hasil penelitian mereka, ada empat sebab yang menjadi alasan atas pendapatnya tersebut. Pertama, konsep right to be forgotten hadir terlalu cepat sebelum rezim perlindungan data pribadi terlembagakan dengan komprehensif dalam sistem hukum Indonesia. “Indonesia terlalu loncat. Rezim perlindungan data pribadi belum kuat, tiba-tiba sudah muncul right to be forgotten,” ujar peneliti yang juga Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ini menjelaskan.

 

Wahyudi mengingatkan asal mula right to be forgotten yang merupakan bagian dari perkembangan bertahap rezim perlindungan data pribadi di Eropa. Tercatat pertama kalinya rezim perlindungan data pribadi menjadi konvensi bersama negara-negara Eropa pada tahun 1995. Sejak saat itu berbagai pengaturan mengenai perlindungan data pribadi menguat dan terlembagakan dengan baik.

Tags:

Berita Terkait